Beda Angka Utang Minyak Goreng, Mendag Minta Audit Ulang BPK dan BPKP
Perbedaan hingga ratusan miliar.
Jakarta, FORTUNE - Polemik soal utang minyak goreng masih berlanjut. Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan mengatakan terdapat perbedaan angka tagihan rafaksi minyak goreng yang dilakukan auditor independen, PT Sucofindo, dan pelaku usaha.
Menurut Zulkifli, jumlah tagihan yang diajukan oleh pelaku usaha mencapai Rp812 miliar, sementara hasil dari verifikasi PT Sucofindo mencapai Rp474 miliar. Dengan begitu, perbedaannya mencapai Rp338 miliar.
Untuk menindaklanjuti persoalan utang itu, Zulkifli mengatakan telah berkorespondensi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit ulang utang tersebut. "Karena yang yang bayar bukan kita, tapi BPDPKS. Sekali lagi kami minta audit dari auditor negara," kata Zulkifli di hadapan Komisi VI DPR RI, Selasa (6/5).
Perbedaan angka, ujar Zulkifli, disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya klaim penyaluran yang tidak dilengkapi bukti hingga tingkat pengecer, biaya distribusi yang tidak dapat diyakini, hingga penyaluran yang melebihi tenggat waktu.
Fatwa Kejagung belum jelas
Sebelumnya, Zulkifli mengatakan kementeriannya telah meminta pendapat hukum atau legal opinion dari Kejaksaan Agung (Kejagung) perihal rafaksi minyak goreng tersebut.
Pasalnya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang sebelumnya mengatur soal rafaksi tersebut telah dihapus.
Kementerian Perdagangan mengaku telah mendapatkan pendapat hukum dari Kejagung, tapi Zulkifli mengatakan isinya belum cukup jelas. Alhasil, Kemendag memutuskan audit akan dilakukan oleh auditor negara.
"Peraturannya sudah enggak ada. Kita minta fatwa yang terang, [tapi] fatwanya kurang terang," ujar Zulhas.
Lantaran bingung dengan pendapat hukum dari Kejagung serta perbedaan angka yang diklaim oleh pengusaha, Zulkifli belum bisa mengarahkan BPDPKS untuk membayar rafaksi minyak goreng.
Permendag No.3/2022 sudah tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Jika pemerintah, dalam hal ini Kemendag, bersikeras untuk tetap menjadikan pendapat hukum Kejagung, ada satu hal yang harus diperhatikan, yakni persetujuan penugasan.