Yogyakarta, FORTUNE - Pemerintah setiap tahun pemerintah rutin menyalurkan Dana Desa sebagai salah satu upaya melakukan desentralisasi fiskal. Namun, dari sekian manfaat penyaluran dana tersebut, ada dampak negatif yang timbul. Salah satunya adalah meningkatnya tindakan Korupsi di tingkat pemerintahan desa.
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jaka Sucipta, mengatakan korupsi yang dulunya hanya dilakukan di tingkat pusat kini telah menyebar hingga tingkat kabupaten atau kota, bahkan ke desa.
"Ini ekses negatif yang menjadi keprihatinan kita semua," kata dia dalam sebuah acara diskusi di Gunung Kidul, Yogyakarta, Rabu (1/5).
Sejumlah kasus pidana yang muncul dari penyaluran dana desa telah menyeruak ke tengah khalayak, dan salah satu yang menonjol adalah penyelewengan dana desa untuk aktivitas karaoke.
Selain itu, ada pula dana desa yang juga dimanfaatkan untuk mengadakan suatu barang demi keperluan desa, tapi pengadaannya didasari atas aksi cawe-cawe dari rekanan pejabat desa terkait.
"Bisa dilihat salah satunya juga bagaimana laporan ICW (Indonesia Corruption Watch) [tentang peningkatan] angka korupsi di desa. Ini ekses negatif yang jadi perhatian kita," ujar Jaka.
Berdasarkan laporan ICW, ada 155 kasus rasuah yang terjadi di level desa dengan 252 tersangka sepanjang 2022.
Jumlah itu setara dengan 26,77 persen dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Angkanya lebih banyak dibandingkan dengan 2021 yang mencapai 154 kasus.
Harus ada kerja sama dengan penegak hukum
Jaka mengaku pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan atas praktik korupsi tersebut. Penanganan tindak pidana sepenuhnya menjadi kuasa aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, Kemenkeu selalu meminta kerja sama dari instansi penegak hukum untuk mengawal penggunaan dana desa. Kewenangan yang dimiliki instansi pengelola keuangan negara terbatas pada penghentian pemberian dana desa hingga pencabutan insentif.
"Di [DJPK Kemenkeu], setiap ada penyalahgunaan dana desa itu, kami hentikan [penyalurannya]. Jadi, kalau ada kepala desa atau perangkat desanya kena kasus, kami hentikan sampai ditunjuk [pelaksana tugasnya]. Ini yang bisa kami lakukan. Karena kami hanya terkait pengalokasian dan penyaluran," kata Jaka.
Diduga menggerus nilai sosial masyarakat desa
Selain memunculkan praktik korupsi, Jaka mengatakan dana desa saat ini juga diduga menggeser nilai-nilai luhur masyarakat, terutama pada level pejabat dan perangkat desa.
Berdasarkan kajian sementara dengan Badan Intelijen Negara (BIN), dana desa diduga berpotensi memicu pergeseran nilai sosial masyarakat.
"Kalau dulu, misal, saya ini dari kampung dan itu kegotongroyongan, kesukarelaan, itu melekat. Sekarang dengan adanya dana desa menjadi transaksional. Misal, yang kerja bakti yang dapat BLT saja," ujar Jaka.
Jaka menyebut temuan tersebut masih harus didalami sehingga datanya menjadi valid, dan menjadi evaluasi dalam pelaksanaan dana desa ke depan.
Sejak 2015 hingga 2024, pemerintah telah menyalurkan dana desa sebesar Rp609,68 triliun.
Sedangkan pada 2024, alokasi dana desa telah mencapai Rp71 triliun yang diberikan untuk 75.259 desa di 434 kabupaten/kota. Dus, setiap desa rerata memperoleh dana senilai Rp943,34 juta.