Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal 2025 menuai kekhawatiran dari Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI).
Ketua Umum Gapmmi, Adhi S. Lukman, mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi membebani Industri Makanan Dan Minuman (mamin) sekaligus menurunkan daya beli masyarakat.
Adhi menegaskan bahwa kenaikan PPN akan memberikan dampak signifikan pada rantai pasok, termasuk peningkatan biaya bahan baku dan produksi.
"Ujung-ujungnya, harga jasa dan produk akan naik, yang akan melemahkan daya beli masyarakat. Terutama pada produk pangan yang sangat sensitif terhadap harga, konsumsi masyarakat akan tertekan," kata dia dalam keterangan resmi, Senin (25/11).
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, telah menunjukkan tren perlambatan. Pada kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,93 persen.
Adhi menyatakan kenaikan PPN dapat semakin memperlambat pertumbuhan konsumsi ini, yang menjadi motor utama perekonomian nasional.
"Penurunan konsumsi rumah tangga akan berdampak domino pada industri makanan dan minuman serta sektor perdagangan. Ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional," ujarnya.
Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor utama yang menggerakkan transaksi pada berbagai saluran ritel, baik pasar tradisional maupun modern. Kenaikan omzet dari industri ini menciptakan perputaran uang signifikan, sehingga berkontribusi besar pada pendapatan negara.
Namun, jika kenaikan PPN diterapkan, pertumbuhan industri ini akan terhambat, yang berujung pada terganggunya target pertumbuhan ekonomi nasional menuju angka 8 persen seperti yang dicanangkan pemerintah, demikian dalih Gapmmi.
Alternatif kebijakan
Gapmmi berharap pemerintah dapat mempertimbangkan langkah alternatif demi meningkatkan penerimaan negara tanpa menaikkan tarif PPN. Salah satunya dengan ektensifikasi basis pajak.
Menurut Adhi, potensi peningkatan penerimaan pajak masih dapat dioptimalkan melalui ekstensifikasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 Pasal 7 Ayat 3 yang memungkinkan tarif PPN berada pada rentang 5 persen-15 persen.
"Peningkatan basis pajak lebih ramah terhadap daya beli masyarakat daripada kenaikan tarif. Langkah ini juga dapat mendukung stabilitas ekonomi dan menjaga pertumbuhan sektor perdagangan," kata Adhi.
Gapmmi menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang berimbang, mengingat sektor makanan dan minuman memiliki peran strategis dalam mendorong aktivitas perekonomian. Dengan mempertimbangkan usulan ini, pemerintah diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat, sekaligus memaksimalkan potensi penerimaan negara tanpa mengorbankan pertumbuhan industri vital seperti makanan dan minuman.
Adhi menutup dengan harapan agar pemerintah membuka ruang dialog dengan pelaku industri sebelum kebijakan ini diterapkan.
"Kebijakan yang tepat tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekonomi bagi semua pihak," ujarnya.