NEWS

LPEM UI Beberkan Risiko PPN 12% ke Inflasi hingga Daya Beli

Kenaikan PPN bebenah rumah tangga penghasilan rendah.

LPEM UI Beberkan Risiko PPN 12% ke Inflasi hingga Daya BeliShutterstock/Haryanta.p
19 November 2024

Fortune Recap

  • Kenaikan PPN bisa memperlebar kesenjangan sosial, memengaruhi daya saing ekspor, dan menyulitkan implementasi.
  • Peningkatan tarif PPN mendukung pemulihan fiskal pasca pandemi, menurunkan ketergantungan pada pinjaman, dan memperkuat struktur pajak negara.
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia mengungkap sejumlah risiko yang mungkin terjadi jika tarif PPN ditingkatkan menjadi 12 persen.

Salah satunya adalah kian buruknya inflasi, karena tarif PPN lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.

"Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," demikian LPEM UI dalam laporan Indonesia Economic Outlook 2025, dikutip Senin (18/11).

Selain itu, efek distribusi dari kenaikan PPN dapat membebani rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional. Meskipun masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatannya untuk barang dan jasa yang dikenai pajak, pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga ini. 

"Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan, dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan," demikian LPEM 

Dampak kenaikan PPN terhadap daya saing juga menjadi perhatian, terutama pada sektor seperti pariwisata. Sebab, kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak lebih rendah. 

Situasi ini juga dapat berpengaruh pada investasi asing, karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak lebih menguntungkan. 

Selain itu, peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global. 

Tantangan implementasi juga perlu diperhatikan. Pasalnya, kenaikan PPN dapat menyebabkan peningkatan tax avoidance atau tax evasion, terutama pada sektor-sektor yang memiliki tingkat informalitas yang tinggi atau pengawasan yang terbatas.

Risiko ini mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN.

Kenaikan PPN pertama kali terjadi pada 2022 dengan berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan tarif PPN berlaku efektif sejak 1 April 2022, meningkat dari 10 persen menjadi 11 persen.

Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peningkatan tarif PPN lebih lanjut menjadi 12 persen pada 2025 dengan tujuan meningkatkan penerimaan pajak guna mendukung keuangan publik secara lebih baik. 

Menurut LPEM UI, PPN memang lebih mudah dikumpulkan karena ia berbasis konsumsi, yang setiap transaksinya didokumentasikan oleh pembeli dan penjual.

Ini berbeda dari pajak penghasilan yang bergantung pada pendapatan dilaporkan dan rentan terhadap pelaporan yang kurang.

Selain itu, karena berbasis konsumsi, PPN tidak menghalangi penghematan atau mengurangi insentif untuk bekerja, tidak seperti beberapa pajak berbasis pendapatan.

Saat ini, pada level tarif 11 persen, PPN Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara-negara berpenghasilan menengah, namun masih termasuk yang tertinggi di Asean. Tarif PPN yang lebih rendah dari rata-rata, bersamaan dengan rasio PPN terhadap PDB yang relatif lebih rendah dari rata-rata, mengindikasikan adanya ruang meningkatkan penerimaan PPN, baik melalui penyesuaian tarif maupun peningkatan efisiensi pemungutan. 

Jika pemerintah memprioritaskan peningkatan penerimaan pajak, secara bertahap meningkatkan tarif PPN atau mempersempit pengecualian dapat membantu menyelaraskan kinerja pajak Indonesia dengan negara-negara lain. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa tarif PPN rata-rata global berkisar 15 persen. Bahkan dengan rencana kenaikan menjadi 12 persen pada 2025, Indonesia masih akan berada di bawah standar ini. 

Dibandingkan dengan jenis pajak lainnya, peningkatan tarif PPN dapat memperkuat struktur pajak negara. Karena pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar, tarif PPN yang lebih tinggi akan memperluas fondasi ini, sehingga memungkinkan pemerintah untuk mendanai layanan-layanan penting seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dengan lebih andal. 

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.