Jakarta, FORTUNE - Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia pada Maret 2024 melesat. Hal itu terlihat dari data Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global.
Indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Maret lalu naik 1,5 poin ke level 54,2 dibandingkan dengan posisi Februari yang tercatat pada 52,7. Ini artinya industri manufaktur dalam negeri mengalami fase ekspansi (indeks di atas 50).
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan untuk meningkatkan performa sektor industri manufaktur, perlu dukungan kebijakan yang strategis, seperti pemberlakuan gas murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk semua sektor industri.
“Apabila semua sektor industri bisa mendapat harga gas yang kompetitif, tentu akan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional serta mendongkrak daya saing produk industri kita. Kami juga optimistis PMI Manufaktur Indonesia bisa lebih tinggi lagi jika program HGBT berjalan dengan baik dan diakses semua industri,” kata dia dalam keterangannya yang dikutip Selasa (2/4).
Berdasarkan data yang dirangkum Kemenperin, kebijakan HGBT memberikan manfaat kepada pelaku usaha. Pada 2023, kenaikan pajak dari industri pengguna HGBT mencapai 32 persen dibandingkan dengan 2019. Selain itu, sampai dengan 2023, realisasi investasi mencapai Rp41 triliun atau naik 34 persen dibandingkan dengan 2019.
Selanjutnya, terdapat potensi investasi pada sektor petrokimia, baja, keramik, dan kaca sebesar Rp225 triliun.
Dampak positif lainnya, dalam kurun 2020–2023 terjadi peningkatan ekspor Rp84,98 triliun, peningkatan penerimaan pajak Rp27,81 triliun, peningkatan investasi Rp31,06 triliun, dan penurunan subsidi pupuk Rp13,3 triliun.
“Yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa HGBT telah mampu meningkatkan pendapatan APBN. Setiap pengeluaran sebesar Rp1 mampu memberikan pendapatan pengganti bagi negara sebesar Rp3,” kata Agus.
140 perusahaan direkomendasikan mendapat gas murah
Saat ini sekitar 140 perusahaan yang telah direkomendasikan oleh Kementerian Perindustrian belum ditetapkan untuk mendapatkan HGBT.
Sebanyak 33 perusahaan di antaranya termasuk dalam tujuh sektor penerima sesuai Perpres 121/2020 jo. Perpres 40/2016, sedangkan sisanya (107 perusahaan) berasal dari 15 sektor baru yang diusulkan Kementerian Perindustrian.
“Kemenperin memandang pentingnya pengaturan yang lebih komprehensif dalam rangka memberikan ruang bagi dunia industri agar dapat mengoptimalkan produksinya,” ujar Agus.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB) Universitas Indonesia, Kiki Verico, menyatakan Indonesia saat ini tidak berada dalam fase deindustrialisasi.
Pengertian deindustrialisasi itu, menurutnya, dialami oleh negara yang sudah mencapai tahap advanced manufacturing atau manufakturnya maju lalu menurun (sunset), dan mulai digantikan negara lain yang manufakturnya baru lepas landas (sunrise).
“Negara industri maju itu lalu bergeser backbone ekonominya dari industri manufaktur ke sektor jasa,” ujarnya.
Kiki menekankan kementerian lain perlu mendukung langkah yang telah dijalankan oleh Kemenperin untuk memperkuat sektor industri manufaktur. Sebab, ke depannya bisa meningkatkan ekspor Indonesia dan memberikan sumbangan lebih besar bagi perekonomian nasional.
“Bagaimana kita menarik investasi masuk kemudian meningkatkan ekspor? Nah, di sini peran Kemenperin bersama Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Investasi (BKPM) harus harmonis, termasuk kebijakannya. Jangan sampai kebijakan di perindustrian itu mendukung industri, sedangkan perdagangan dan investasinya tidak,” katanya.