Jika HGBT Tak Lanjut, Kemenperin Minta Opsi Impor Gas Murah
Kelanjutan dari kebijakannya belum menemukan titik terang.
Fortune Recap
- Kementerian Perindustrian mengusulkan impor gas murah untuk industri jika program harga gas bumi tertentu dihentikan.
- Impor gas murah dari negara-negara Teluk dengan harga US$3 per MMBTU dapat mendukung industri nasional.
- Impor gas murah juga dapat meningkatkan daya saing di tingkat Asean dan global serta kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan opsi impor gas murah untuk industri jika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas tidak melanjutkan program harga gas bumi tertentu (HGBT).
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin, Taufiek Bawazier, mengatakan Kemenperin meminta opsi B, yakni pembukaan keran impor gas dari negara-negara Teluk dengan harga yang bisa menyentuh US$3 per MMBTU untuk kebutuhan kawasan industri dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan subtitusi impor.
"Ini tentunya bisa mencapai enam kali lipat nilai tambah yang didapat dari HGBT gas domestik sehingga dapat mendukung industri nasional untuk menjadi tangguh dan kuat," kata Taufiek dalam keterangan resminya, dikutip Senin (25/3).
Dia mengatakan impor gas murah juga dapat mendorong Daya Saing di tingkat ASEAN dan global, serta meningkatkan kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional tetap tumbuh dari kontribusi sektor industri.
Ia menyayangkan jika persoalan substansi teknokratis direduksi oleh kehadiran pejabat dalam menentukan perpanjangan program HGBT.
“Sesungguhnya terminologi 'dilanjutkan' atau 'tidak dilanjutkan' program HGBT ini sangat tendensius. Karena sesungguhnya, selama Perpres belum dicabut, maka program HGBT ini tetap harus jalan dan semua pembantu Presiden wajib untuk mengikuti Peraturan Presiden ini,” ujar Taufiek.
Dampak HBGT buat industri
Taufiek mengungkapkan nilai tambah kebijakan HGBT untuk industri terhadap perekonomian nasional mencapai Rp157,20 triliun atau meningkat hampir tiga kali lipat. Sementara itu, total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021 hingga 2023 mencapai Rp51,04 triliun.
"Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi," ujarnya.
Dia menjelaskan dari tujuh sektor industri penerima HGBT, yaitu industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet, nilai tambah ekspor yang berhasil ditingkatkan pada 2021–2023 mencapai Rp84,98 triliun.
Nilai ekspor terbesar diraih oleh sektor oleokimia pada Rp48,49 triliun. Tidak hanya ekspor, peningkatan pajak yang diperoleh mencapai nilai Rp27,81 triliun.
Efek berganda dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.
"Logikanya, jika HGBT ditiadakan atau tidak diperpanjang, maka terdapat opportunity lost bagi industri yang berujung perekonomian akan merosot dan menurun tiga kali lipat," katanya.
Kebutuhan industri akan gas
Bahkan, menurut dia, jika HGBT tidak dilanjutkan, produk Indonesia akan menjadi tidak kompetitif, yang dapat berakibat pada penutupan pabrik serta PHK.
Taufiek mengingatkan industri butuh gas murah, baik sebagai energi maupun feedstock.
Gas murah sendiri memiliki peran penting bagi peningkatan daya saing saing industri dan masuknya investasi.
“Kami juga meminta agar program HGBT sesuai Perpres Presiden Jokowi dilanjutkan bahkan diperluas dengan prinsip no one's left behind, bukan hanya untuk tujuh sektor industri yang saat ini menerima fasilitas,” ujar Taufiek.