Jakarta, FORTUNE - Kerangka kerja sama perekonomian digital ASEAN (Digital Economy Framework Agreement/DEFA) yang diharapkan bisa segera diimplementasikan tahun ini menghadapi tantangan. Pasalnya, masih ada beberapa negara anggota ASEAN yang belum siap.
Menyikapi hal ini, Indonesia menawarkan diri membantu meningkatkan kesiapan negara-negara tersebut agar kesepakatan bisa tetap berjalan.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Edi Prio Pambudi, menjelaskan dalam Pertemuan Tingkat Menteri Dewan Masyarakat Ekonomi ASEAN ke-24 di Laos, sejumlah negara menyatakan belum siap jika DEFA harus diluncurkan pada 2025. Oleh karena itu, Indonesia mengusulkan pendekatan bertahap.
“Indonesia mengusulkan bagaimana kalau kita bagi dua. Bagian yang memang bisa langsung disepakati, kita launching di tahun ini. Yang belum bisa disepakati, kita berikan capacity building,” kata Edi saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (12/2).
Menurutnya, jika ASEAN menunggu semua negara siap, maka kesepakatan ini tidak akan pernah selesai. Padahal, kawasan ASEAN saat ini menjadi pusat perhatian banyak pihak di luar ASEAN yang ingin menjalin kerja sama digital.
“Kita memanfaatkan momentum. Kalau kita tidak menggunakan prinsip ini, akhirnya justru masing-masing negara akan jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Indonesia jembatani kesenjangan digital
Edi menyoroti perbedaan kesiapan antarnegara di ASEAN yang terutama disebabkan oleh struktur ekonomi berbeda. Beberapa negara masih mengandalkan sektor berbasis komoditas primer sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan digitalisasi.
“Kita tahu ada negara-negara yang secara pertumbuhan lebih lambat karena mereka berbasis pada komoditi primer. Ketika mereka masuk ke digitalisasi, pasti harus menyesuaikan,” katanya.
Namun, ia menegaskan dalam ASEAN, perundingan selalu berjalan dengan semangat persaudaraan. Oleh karena itu, Indonesia akan terus mengadvokasi negara-negara yang belum siap agar tidak khawatir dalam proses transisi menuju perekonomian digital.
“Setiap perundingan di ASEAN itu bisa selesai dengan cara brotherly, sisterly. Itu yang paling enak, tidak sesulit kalau dengan negara lain,” ujarnya.
Potensi ekonomi digital ASEAN
Jika DEFA dapat segera diimplementasikan, perekonomian digital di kawasan ASEAN diproyeksikan bisa meningkat dua kali lipat pada 2030. Kesepakatan ini mencakup berbagai aspek digitalisasi, seperti digital talent, digital ID, keamanan siber, re-skilling, infrastruktur, dan interoperabilitas.
Sebagai satu-satunya kerja sama Ekonomi Digital di dunia yang diakui secara global, DEFA diharapkan mampu meningkatkan ekonomi digital ASEAN dari US$1 triliun menjadi US$2 triliun pada 2030.
Bagi Indonesia, kebijakan ini juga selaras dengan Strategi Nasional Ekonomi Digital 2030, yang bertujuan meningkatkan kontribusi sektor digital terhadap PDB hingga 20 persen pada 2045.
“DEFA itu prinsipnya adalah menyamakan pandangan dalam aspek digitalisasi, termasuk mitigasi risiko dan prosedur aplikasinya,” kata Edi.
Sebagai contoh, ia menyebut bahwa implementasi QR code sharing antarnegara di ASEAN akan lebih mudah dilakukan jika semua negara memiliki pemahaman yang sama tentang mitigasi risiko dan standar operasional yang berlaku.
DEFA diharapkan menjadi langkah besar bagi ASEAN dalam membangun ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan adanya kesepakatan ini, Indonesia yang diprediksi memiliki perekonomian digital senilai US$360 miliar pada 2030, berpotensi meningkat menjadi US$600 miliar.
“Transformasi digital yang inklusif dan berkelanjutan adalah kunci untuk memastikan pertumbuhan ekonomi ASEAN yang tangguh di masa depan,” ujar Edi.
Indonesia optimistis dengan pendekatan bertahap dan bantuan capacity building, ASEAN dapat segera merealisasikan DEFA dan membuka peluang ekonomi digital yang lebih luas bagi seluruh anggotanya.