Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto, melaporkan bahwa hingga hari ini, Senin (18/11), Indonesia telah mengalami 1.756 kejadian bencana sepanjang 2024, yang sebagian besarnya tergolong sebagai bencana hidrometeorologi basah.
"Dari total 1.756 bencana, lebih dari 1.000 di antaranya terkait banjir dan cuaca ekstrem," kata Suharyanto dalam laporannya saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Kemendagri, Senin (18/11).
Dalam paparannya, dia mengatakan total bencana tersebut telah menimbulkan hingga 1.455 korban jiwa termasuk meninggal dunia, hilang, dan luka-luka, sementara kerugian materialnya—seperti kerusakan rumah dan fasilitas umum yang terdampak—mencapai 53.975 unit.
Suharyanto menjelaskan bahwa jumlah bencana pada 2024 lebih sedikit dibandingkan dengan peristiwa bencana dalam tiga tahun terakhir. Pada 2023, Indonesia mencatatkan 5.400 kejadian bencana, dengan bencana hidrometeorologi kering seperti kebakaran hutan dan lahan mendominasi akibat fenomena El Niño.
Sementara itu, pada 2022, terjadi 3.500 bencana, dan pada 2021 angkanya mencapai 5.400.
“Alhamdulillah, di 2024 ini kita tidak mengalami El Niño. Meski demikian, fokus kita tetap pada kesiapan menghadapi bencana hidrometeorologi basah, di samping potensi bencana geologi seperti gunung meletus dan gempa bumi yang sulit diprediksi," ujarnya.
Dominasi bencana hidrometeorologi basah
Data BNPB mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, 96,1 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi basah.
Suharyanto juga menyoroti bahwa pada November, Desember, dan awal tahun, intensitas hujan diperkirakan tinggi, sehingga kesiapsiagaan daerah menjadi krusial.
Tiga provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, tercatat sebagai wilayah dengan kejadian bencana hidrometeorologi basah tertinggi. Pada tingkat kabupaten, Kabupaten Bogor menduduki peringkat pertama, diikuti oleh Cilacap, Sukabumi, Bandung, hingga Ciamis.
Untuk mengantisipasi dampak lebih besar, BNPB bersama BMKG dan kementerian terkait telah memberikan arahan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah yang harus segera dilakukan seperti, menggelar apel kesiapsiagaan bencana di setiap daerah, membagikan data prakiraan cuaca dari BMKG kepada kepala daerah untuk mendukung pengambilan keputusan, serta meningkatkan edukasi dan mitigasi dampak bencana, terutama terkait infrastruktur, rumah masyarakat, dan keselamatan jiwa.
"Kita tidak bisa mencegah bencana, tetapi kita harus meminimalkan dampaknya, baik dari segi kerusakan maupun korban jiwa," kata Suharyanto.
BNPB mengimbau agar pemerintah daerah lebih aktif memantau informasi cuaca dari BMKG dan mempersiapkan langkah mitigasi.
"Kami akan terus melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk memastikan kesiapan menghadapi potensi bencana hidrometeorologi basah," ujar Suharyanto.
Kesiapan dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci utama dalam mengurangi risiko bencana di Indonesia, khususnya pada musim penghujan.