Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan pembelian LPG 3 Kilogram (Kg) hanya dilayani di Pangkalan Resmi Pertamina mulai 1 Februari 2025. Dengan begitu, LPG 3 Kg tidak lagi bisa dibeli di pengecer atau warung-warung terdekat.
Alasan pemerintah menerapkan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan distribusi yang lebih tepat sasaran, menekan potensi penyimpangan, dan memastikan pengendalian harga di masyarakat.
Namun, apakah kebijakan ini benar-benar akan mencapai tujuannya? Atau justru menciptakan tantangan baru bagi masyarakat kecil yang sangat bergantung pada LPG 3 Kg untuk kebutuhan rumah tangga mereka?
Dampak kebijakan pembelian LPG 3 Kg di pangkalan resmi Pertamina
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Achmad Nur Hidayat menjelaskan bahwa LPG 3 Kg selama ini telah menjadi kebutuhan esensial bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Ia menuturkan, masyarakat yang selama ini terbiasa membeli di pengecer karena faktor kedekatan dan fleksibilitas, kini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hanya bisa memperoleh “gas melon” ini melalui pangkalan resmi.
1. Menyulitkan masyarakat kecil
Dengan kata lain, ada perubahan sistem distribusi yang signifikan, yang kemungkinan besar akan menyulitkan masyarakat kecil, terutama mereka yang tinggal jauh dari pangkalan resmi.
“Mereka yang sebelumnya bisa membeli LPG di warung-warung kecil dekat rumah, kini harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkannya,” ujar Achmad dalam keterangan resmi yang diterima, Minggu (2/2).
2. Menambah ongkos logistik masyarakat
Hal ini disebutkan akan menambah ongkos logistik, baik dalam bentuk biaya transportasi maupun waktu yang lebih lama untuk mendapatkan gas.
Saat ini, biaya tambahan rerata berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000 per tabung, sehingga harga LPG 3 Kg yang semula berkisar antara Rp18.500 hingga Rp23.000 per tabung kini menjadi Rp25.000 hingga Rp38.000 per tabung, tergantung pada daerahnya.
“Bagi masyarakat yang bekerja harian atau memiliki penghasilan pas-pasan, pengeluaran tambahan ini akan semakin membebani kehidupan mereka,” kata dia.
3. Berpotensi memicu pasar gelap
Lebih lanjut, kebijakan pembatasan distribusi LPG 3 Kg bertujuan memastikan subsidi tepat sasaran, namun kenyataannya memungkinkan banyak masyarakat kesulitan mengakses gas dengan harga wajar. Hal ini bisa memicu pasar gelap atau jalur distribusi tidak resmi dengan harga yang lebih tinggi, serta menciptakan monopoli distribusi di tangan pangkalan resmi, merugikan masyarakat kecil.
4. Mendorong inflasi
Sementara itu, larangan pengecer mendistribusikan LPG 3 Kg akan membatasi akses masyarakat dan meningkatkan biaya logistik, yang pada gilirannya mendorong inflasi. Biaya tambahan ini akan dibebankan pada harga produk UMKM, mempengaruhi daya beli masyarakat, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Solusi yang lebih adil dan realistis
Achmad menjelaskan, larangan penjualan LPG 3 Kg di tingkat pengecer seharusnya dibatalkan karena menambah beban bagi masyarakat kecil dan pelaku UMKM.
Sebagai alternatif, pemerintah dapat menerapkan sistem distribusi berbasis subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak, sehingga mereka dapat membeli LPG dengan harga bersubsidi tanpa harus bergantung pada jalur distribusi yang kaku dan sulit dijangkau.
Pemerintah juga dapat mengadopsi mekanisme distribusi digital yang lebih transparan, seperti sistem kartu subsidi berbasis data yang memastikan hanya mereka yang berhak yang dapat membeli LPG 3 Kg dengan harga subsidi. Dengan cara ini, subsidi dapat lebih tepat sasaran tanpa mengorbankan aksesibilitas bagi masyarakat kecil.
Selain itu, perluasan jangkauan pangkalan resmi juga harus diprioritaskan agar masyarakat tetap dapat membeli LPG dengan harga wajar tanpa mengalami kesulitan akses.