Sebagai bagian dari persiapan untuk membentuk kabinet pemerintahan yang baru, presiden terpilih Prabowo Subianto telah mengundang sejumlah calon menteri, wakil menteri, dan kepala badan untuk mengisi posisi penting dalam pemerintahan yang akan datang. Tindakan ini dinilai sangat penting dalam menetapkan arah kebijakan dan pengelolaan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Publik berharap agar kabinet pemerintahan yang baru terdiri dari individu-individu profesional yang dapat mendorong perubahan positif dan meningkatkan efektivitas dalam pengelolaan negara.
Namun, analisis Center of Economics and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa mayoritas nama yang dipanggil untuk mengisi kabinet berasal dari politisi dengan proporsi 55,6 persen atau 60 dari 108 kandidat.
Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7 persen atau 17 dari 108 calon. Kemudian disusul kalangan TNI/POLRI (8,3 persen), pengusaha (7,4 persen), tokoh agama (4,6 persen), dan selebriti (2,8 persen). Celios menyayangkan hanya 5,6 persen yang berasal dari kalangan akademisi.
Sementara itu, di antara kandidat berlatar politisi tersebut, terdapat 45 kandidat yang terafiliasi partai. Gerindra menguasai kabinet dengan proporsi mencapai 26,7 persen (12 orang), disusul Golkar sekitar 24,4 persen (11 orang), serta Demokrat, PAN, dan PKB yang mendapat jatah seragam 8,9 persen (4 orang).
Celios menilai pengisian jajaran kabinet sarat akan kepentingan balas budi politik yang memprioritaskan aktor-aktor sentral dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Setidaknya terdapat 30 kandidat yang tercatat aktif dalam TKN mulai dari posisi pengarah, penasihat, ketua, sekretaris, bendahara, dewan pakar, hingga koordinator relawan kampanye. Secara akumulatif 72 persen dari jumlah kandidat merupakan pendukung Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024.
Celios juga mencatat bahwa kabinet yang mengisi posisi strategis tersebut juga tidak inklusif. Hanya ada 10 kandidat perempuan (9,3 persen) di antara 98 kandidat laki-laki yang mendominasi sekitar 90,7 persen.
Berakibat ke kerentanan fiskal
Peneliti Celios Galau D Muhammad menuturkan, pembagian jabatan ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan secara moral, tetapi juga berpotensi menciptakan pemborosan anggaran yang signifikan.
“Semakin banyaknya wakil menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri tersebut,” ujar dia dalam keterangan yang diterima, Kamis (17/10).
Semua tanggungan ini, menurut Galau, memperparah kerentanan fiskal akibat jatuh tempo hutang dan turunnya penerimaan pajak.
Analisis Celios menunjukkan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun selama lima tahun ke depan akibat koalisi gemuk. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.
Di sisi lain, Peneliti Celios, Achmad Hanif Imaduddin, juga menyampaikan bahwa kerugian yang dihadapi negara akibat fenomena ini tidak hanya sebatas pada pemborosan fiskal tetapi juga memperlebar angka ketimpangan.
“Meskipun gaji menteri relatif kecil dibandingkan jabatan lain, posisi ini dapat membawa dampak ekonomi yang luas, seperti kenaikan nilai saham perusahaan yang dimiliki oleh menteri yang dapat dilihat sebagai manfaat dari akses kekuasaan,” kata Hanif.
Hanif menilai fenomena ini dapat menciptakan ketimpangan baru di masyarakat karena pejabat-pejabat tersebut mendapatkan keuntungan ganda dari posisi kekuasaannya.