Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan kebijakan fiskal ekspansif Amerika Serikat dapat meningkatkan ketidakstabilan eksternal yang mengancam perekonomian Indonesia.
Pasalnya, untuk menggenjot perekonomian dalam negerinya, AS menaikkan defisit fiskalnya hingga mencapai 9 persen terhadap produk domestik brutonya (PDB).
Kondisi demikian bakal membuat AS kian gencar mengeluarkan surat utang yang berujung pada peningkatan yield Treasury, dan larinya investor portofolio dari pasar berkembang seperti Indonesia.
"Di market dampaknya adalah instabilitas dari eksternal kita, dimana terjadi kenaikan suku bunga yang cukup tinggi dan mungkin masih akan terus lebih tinggi lagi dan akan untuk waktu yang cukup lama," ujarnya dalam BNI Investor Daily Summit 2023, Selasa (24/10).
Meski demikian, lanjut Febrio, pemerintah telah mempersiapkan sejumlah skenario untuk menghadapi berbagai situasi tersebut. Kesiapan tersebut dilakukan sejak meletusnya perang Rusia-Ukraina yang memicu fragmentasi geopolitik global.
"Antisipasi ini yang sudah memang kita mulai lakukan dari tahun lalu ini saatnya kita men-deploy kesiapan-kesiapan kita itu," imbuhnya.
Kesiapan pemerintah, jelasnya, difokuskan untuk menjadikan APBN sebagai shock absorber untuk melindungi masyarakat rentan.
Tahun lalu ketika pemerintah menaikkan harga Pertalite menyusul peningkatan harga minyak ke US$100 per barel, pemerintah menambah alokasi belanja untuk program perlindungan sosial (Perlinsos).
Jaga kesehatan APBN
Pada saat bersamaan, kesehatan APBN juga tetap dijaga dengan menurunkan defisit ke bawah 3 persen, dari posisi 6,1 persen pada 2020.
"Terakhir defisit di angka 2,35 persen PDB di tahun 2022. Konsolidasinya 1 tahun lebih awal (dari target 2023)," ujarnya.
Kemudian, hingga semester I lalu, pemerintah telah mengeluarkan outlook defisit sebesar 2,3 persen PDB pada akhir 2023.
Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan asumsi APBN 2023 yang ditargetkan mencapai 2,8 persen PDB.
"Saat ini, begitu kita melihat perkembangan penerimaan penerimaan belanja kementerian maupun non kementerian, arah defisitnya di bawah 2,3 persen," katanya.
Dengan defisit yang diperkirakan lebih rendah tersebut, menurut Febrio, pemerintah memiliki peluang untuk bermanuver dengan mengoptimalkan belanja.
"Tadi pagi mungkin Presiden [Joko Widodo] sudah mengumumkan mengindikasikan beberapa kebijakan yang sedang kita siapkan. Nanti kita tunggu sampai dirumuskan, dan nanti kita akan buatkan rumusannya," ujarnya.
Febrio juga optimistis bahwa pertumbuhan Indonesia pada 2023 masih akan di atas 5 persen. Namun, tantangan lebih berat telah menanti di 2024, yakni saat pemerintah mencantolkan target defisit 2,29 persen.
"Dengan risiko ke depan yang harus kita hadapi, kita juga menyiapkan beberapa measure untuk memastikan APBN kita tetap sehat sambil memastikan bahwa APBN itu digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Terutama salah satunya adalah menjaga daya beli dan juga mendorong aktivitas perekonomiannya bisa tetap tumbuh," katanya.