Jakarta, FORTUNE - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan regulasi terbaru terkait kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) alias Gross Split.
Kebijakan tersebut berwujud Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.13/2024 tentang kontrak bagi hasil gross split, menggantikan Permen ESDM No.8/2017 tentang kontrak bagi hasil gross split.
Selain itu, ditetapkan pula Kepmen ESDM No.230.K/MG.01.MEM.M/2024 tentang pedoman pelaksanaan dan komponen kontrak bagi hasil gross split.
Direktur Pembinaan Hulu Minyak dan Gas Bumi, Ariana Soemanto, mengatakan pembaruan ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan kontraktor dan pemerintah dan meningkatkan daya tarik investasi migas di Indonesia.
Salah satu poin penting pada aturan ini adalah kepastian bagi hasil yang diterima kontraktor dapat mencapai 75-95 persen. Pada kontrak gross split lama, bagi hasil kontraktor sangat variatif: bisa sangat rendah, hingga nol persen pada kondisi tertentu.
"Kepastian 75-95 persen bagi hasil punya kontraktor. Kalau yang dulu bisa rendah sekali, bahkan bisa sampai 0 persen, itu kita koreksi. Selain itu, bagi hasil tidak kompetitif, buktinya dari 15 dari 26 KKKS mengajukan insentif atau diskresi," jelasnya pada sosialisasi aturan tersebut, Selasa (1/10).
Selain itu, Ariana menyatakan aturan gross split baru ini juga membuat Wilayah Kerja Migas Non Konvensional lebih menarik, karena bagi hasil untuk kontraktor dapat mencapai 93-95 persen di awal. Hal ini dapat segera diterapkan pada WK GMB Tanjung Enim dan MNK Rokan.
Kemudian, parameter-parameter yang menentukan besaran angka bagi hasil untuk kontraktor disederhanakan dari 13 parameter menjadi hanya 5 parameter, agar lebih implementatif perhitungannya dan menarik di lapangan.
"Poin yang keempat adalah, ini bukan semata-mata untuk mendorong gross split yang baru ini. Tetapi, di sini kita berikan pilihan fleksibilitas. Mau pakai gross split atau cost recovery silakan, mau berpindah juga silakan. Sesuai dengan selera kontraktor," ujarnya.
Poin perubahan pada aturan tentang kontrakb bagi hasil itu meliputi, antara lain, simplifikasi jumlah komponen. Dari 13 komponen tambahan bagi hasil disederhanakan hanya menjadi 5 yaitu jumlah cadangan, lokasi lapangan, ketersediaan infrasruktur, harga minyak bumi, dan harga gas bumi.
Poin yang kedua adalah parameter sesuai data lapangan. Nilai parameter komponen ditentukan dari studi statistik data 5 tahun terakhir, yaitu jumlah cadangan POD seluruh lapangan, rata-rata lokasi dan kedalaman lapangan, serta harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), LNG platts, dan gas domestik.
"Jadi setelah evaluasi 5 tahun, nanti Bapak dan Ibu akan melihat cadangan dan POD-nya itu sudah ada bukti empiris bahwa data 5 tahun terakhir terkait penemuan cadangan itu yang membentuk angka yang ada di Kepmen kita ini. Begitu pula dengan lokasi kedalaman, Harga ICP, kenapa harga yang diambil titik tengahnya, itu semua berdasarkan data realisasi 5 tahun terakhir," kata Ariana.
Selain itu, diatur pula total bagi hasil yang kompetitif, dengan nilai bagi hasil (sebelum pajak) KKKS migas konvensional pada rentang 75 persen sampai dengan 95 persen, Berdasarkan studi effective royalty rate, access to gross revenue, dan incentives.
Lalu terdapat pula aturan mengenai Eksklusivitas MNK, yakni nilai bagi hasil (sebelum pajak) KKKS MNK menggunakan fixed split 93 persen untuk minyak dan 95 persen untuk gas, berdasarkan studi perbandingan keekonomian dengan lapangan di Eagle Ford.
Yang terakhir, mengenai tata cara, persyaratan perubahan bentuk kontrak, dan fleksiblitas. Aturan ini memberikan pengaturan terkait perubahan bentuk kontrak bagi hasil dari PSC cost recovery ke gross split ataupun sebaliknya dengan ketentuan peralihan untuk kontrak yang telah ditandatangani sebelumnya.