Jakarta, FORTUNE - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan pemerintahan baru mendatang perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan anggaran dalam penerapan Program Makan Siang Gratis.
Pasalnya, realisasi janji kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming membutuhkan anggaran mencapai Rp453 triliun atau setara dengan 13,6 persen dari total alokasi belanja pemerintah pada tahun ini.
Jumlah tersebut juga lebih tinggi dari anggaran belanja infrastruktur yang mencapai Rp423,4 triliun, serta anggaran belanja lainnya seperti layanan hukum dan HAM Rp332,9 triliun, subsidi energi Rp189,1 triliun, kesehatan Rp187,5 triliun, ketahanan pangan Rp114,3 triliun, serta subsidi non-energi Rp96,9 triliun.
Meski pada 2025 program tersebut tidak akan langsung diterapkan secara penuh, melainkan akan dimulai dengan target penerima sekitar 30-40 persen dari total sasaran program, anggaran yang dibutuhkan untuk merealisasikannya juga cukup besar, yakni mencapai Rp136 triliun.
Dus, berdasarkan asumsi CORE Indonesia, diperlukan realokasi atau penyutan anggaran dari tiap pos belanja negara sekitar 10 persen baik itu dari subisidi energi, perlindungan sosial, kesehatan, maupun pendidikan.
"Itu relatif memenuhi terutama untuk tahun pertama. Karena kebijakan realokasi 10 persen kemungkinan akan menghasilkan anggaran Rp153,84 triliun," ujarnya dalam webinar bertajukQuarterly Review 2024: Tantangan Ekonomi di Tengah Transisi Pemerintahan, Kamis (25/4).
Karena itu, pemerintahan mendatang perlu melakukan analisis biaya dan manfaat dari masing-masing program yang direalokasi. Misalnya, bantuan operasional sekolah yang jadi salah satu komponen belanja yang diwacanakan akan direalokasi.
Menurut Rendy, beberapa studi mengungkapkan bahwa belanja BOS telah memilki dampak positif pada bidang pendidikan, terutama dalam hal pemerataan kualitas fasilitas pendidikan antara Jawa dan luar Jawa.
"Ketika program makan siang gratis akan ditutup dari BOS, perlu dihitung kira-kira biayanya sebesar apa dan apakah manfaatnya lebih besar dari output dan outcome dari program yang sudah berjalan," katanya.
Potensi multiplier effect
Rendy juga menyinggung efek berganda (multiplier effect) kebijakan makan siang dan susu gratis yang menurutnya tidak akan optimal.
Sebab, meski program makan siang gratis ini punya potensi keterkaitan antarsektor, baik dari sisi hulu maupun hilir, ekosistem yang ada di Indonesia saat ini belum terbangun dengan baik.
Sektor pertanian, misalnya, saat ini bukanlah sektor yang cukup baik kinerjanya mengingat berbagai permasalahan di hulu maupun hilir yang kerap terjadi, misalnya kenaikan harga beras pada awal 2024.
"Tentu kalau sudah terbangun baik dan proper, [kebijakan itu] akan berpotensi memberikan efek multiplier yang besar, terutama kalau kita bicara konteks penyediaan atau suplai bahan-bahan makan siang gratis itu," ujarnya.
Demikian pula terkait dengan program susu gratis, yang komoditasnya relatif lebih banyak diimpor. Sementara untuk membangun industri peternakan yang bisa mengimbangi peningkatan permintaan dari program tersebut, dibutuhkan waktu yang tidak singkat.
"Nah pekerjaan rumah pemerintah mendatang nantinya adalah selain membangun tapi juga memperbaiki ekosistem subsektor yang berkaitan dengan makan siang gratis ini," kata Rendy.