Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyinggung penurunan peringkat Indonesia dalam Logistics Performance Index (LPI) yang dikeluarkan Bank Dunia. Dalam pemeringkatan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-63, turun dari sebelumnya pada peringkat ke-46.
"Logistics Performance Index Indonesia tahun ini kalah dibandingkan banyak negara yang justru makin maju," ujarnya saat memberi sambutan pada diskusi bertajuk Let’s Talk about INSW, Jumat (9/6).
Sri Mulyani juga menyoroti merosotnya empat dari enam skor komponen LPI Indonesia, yakni waktu pengiriman (timelynes) menjadi 3,3 (dari sebelumnya 3,7 pada 2018); pelacakan kiriman (tracking and tracing) menjadi 3,0 (dari 3,3); pengiriman internasional (international shipments) menjadi 3,0 (dari 3,2) dan kompetensi logistik (logistics competence and quality) menjadi 2,9 (dari 3,1).
Hanya komponen infrastruktur yang naik skornya dari 2,89 menjadi 2,9 dan kepabeanan (custom) yang mendaki dari 2,7 menjadi 2,8.
"Sehingga memang untuk timelyness kemudian tracking dan tracing, kompetensi dan International shipment kita berharap untuk terus memperbaiki selain dua yang sudah membaik tapi terus membaik lagi yaitu custom atau bea cukai dan infrastruktur," ujarnya.
PR tak mudah
Kendati tak mudah, peningkatan kinerja logistik dan distribusi, menurutnya, sangat penting untuk perbaikan ekonomi dan daya saing Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar secara geografis.
"Kita menyadari, apalagi kalau kemudian dibuat skor antar negara, Indonesia akan sangat menghadapi tantangan yang sangat tidak mudah, bahkan bersaing di negara-negara ASEAN. Karena di lingkungan ASEAN 10 mereka, negara-negaranya, relatif geografinya kompak dan kecil. Jumlah penduduknya kecil dan juga geografisnya tidak serumit Indonesia," katanya.
Karena itu dalam perjalanan untuk membuat Indonesia National Single Window (INSW), pemerintah menyadari bahwa negosiasi dengan negara-negara tetangga dimulai dengan proyek di Jakarta.
"Dalam proses negosiasi dengan ASEAN saja waktu itu, kita memulai dengan Jakarta saja dulu. Karena Jakarta di Indonesia menjadi pintu gerbang utama. Dan tentu kalau di Singapura, ya Singapura negara kota jadi hanya satu, tapi seperti Thailand, Vietnam, Malaysia mereka tidak memiliki urgensi dan kerumitan seperti Indonesia," ujarnya.
Sebagai negara kesatuan, Indonesia perlu terus memperbaiki konektivitas dan tidak hanya bergantung pada Jakarta. Presiden Joko Widodo sendiri telah berupaya meningkatkan konektivitas melalui berbagai infrastruktur di kawasan. Di Sumatera, misalnya, telah banyak belanja APBN yang diarahkan untuk membangun jalan tol, bandara, hingga pelabuhan.
"Namun, kita lihat Sumatera biaya logistiknya itu masih 20 persen, dibandingkan dengan Jawa atau Jakarta yang hanya 12 persen. Ini menggambarkan PR kita yang masih sangat tinggi dan besar," katanya.