Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan perekonomian kuartal III-2024 akan tumbuh pada kisaran 5,06 persen. Angka tersebut sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah dalam APBN 2024, yakni sekitar 5,2 persen.
"Kita lihat untuk pertumbuhan ekonomi, APBN 2024 menggunakan asumsi 5,2 persen. Untuk semester I kita adalah di 5,08 persen, kuartal II di 5,05 persen. Kami memperkirakan kuartal III masih akan relatif stabil, sedikit di atas 5 persen. Menurut estimasi BKF di 5,06 persen. Jadi ini mungkin masih akan on track di sekitar angka tersebut," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (23/9).
Selain pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani juga melaporkan realisasi inflasi secara tahunan (year on year/yoy) masih berada pada 2,12 persen. Angka ini masih berada pada kisaran target APBN, yakni sebesar 2,8 persen.
"Jadi, masih sedikit di bawah asumsi APBN 2024. Ini cukup baik. Berarti kita mampu mengendalikan sesuai dengan asumsi," ujarnya.
Kemudian, nilai tukar rupiah terhadap dolar (US$) realisasinya mencapai Rp15.897 secara tahun kalender (year to date) dan Rp15.287 pada akhir periode (end of period/eop) atau Agustus 2024.
"Kalau kita lihat rata-rata satu tahun ini, apresiasi sudah 0,84 persen," katanya.
Kemudian, yield SBN 10 tahun Indonesia berada pada 6,81 persen ytd dan 6,53 persen eop. Angka tersebut juga masih pada kisaran target APBN yang sebesar 6,7 persen.
"Masih ada di sekitar atau dekat dengan asumsi 2024," ujarnya.
Untuk harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP), dari asumsi APBN sebesar US$80 per barel, realisasinya mencapai US$81,02 per barel ytd.
"Nah, ini masih sangat dekat meskipun end of period di bawah US$80 per barel yaitu US$78,5 per barel," katanya.
Sedangkan untuk lifting minyak, dari target 635.000 barel per hari, realisasinya mencapai 569.000 barel per hari.
"Realisasinya jauh di bawah asumsi APBN, demikian juga dengan lifting gas yang realisasinya 969,1 juta barel per hari sedangkan asumsi APBN 1,033 juta barel per hari. Ini yang menyebabkan PNBP migas kita mengalami kontraksi tinggi. Karena lifting minyak dan gas jauh di bawah yang diasumsikan sementara harga minyaknya cenderung melemah di bawah asumsi," ujarnya.