Stabilitas Rupiah dan SBN Terjaga, Sri Mulyani Bandingkan dengan 2013

Kebijakan hilirisasi topang ketahanan ekonomi Indonesia.

Stabilitas Rupiah dan SBN Terjaga, Sri Mulyani Bandingkan dengan 2013
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Fortune Recap

  • Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan pentingnya menjaga ketahanan surplus neraca pembayaran untuk stabilitas imbal hasil surat berharga negara dan nilai tukar rupiah.
  • Ketahanan ekonomi yang lemah membuat Indonesia mengalami gejolak 
  • Perception risk maupun real risk turut membuat yield surat berharga negara melonjak.

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya menjaga ketahanan surplus neraca pembayaran untuk memastikan stabilitas imbal hasil surat berharga negara maupun Nilai Tukar Rupiah.

Pasalnya, di tengah kondisi perekonomian dunia yang masih penuh dengan ketidakpastian, Indonesia berisiko mengalami kenaikan yield surat utang dan depresiasi rupiah. 

"Kita lihat waktu Indonesia posisi APBN dan neraca pembayarannya baik, maka nilai tukar rupiah juga akan relatif stabil," ujarnya dalam rapat bersama Komisi XI, Rabu (5/6).

Dia mengingatkan tentang kondisi ketika bank sentral Amerika Serikat memperketat kebijakan moneter pada 2013—dikenal dengan taper tantrum—yang membuat perekonomian Indonesia bergejolak karena ketahanannya lemah.

Pada kurun 2012 hingga 2014, saat kondisi defisit neraca pembayaran dan neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) berada di atas tiga persen, Indonesia sempat dijuluki The Fragile Five bersama India, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil.

Kala itu, imbal hasil surat berharga negara Indonesia tiba-tiba melesat naik dan rupiah terdepresiasi sangat dalam menyusul pengumuman Fed untuk memperketat likuiditas. Pada 2013, nilai tukar rupiah anjlok 24,3 persen dari Rp9.793 ke Rp12.171 per US$. 

"Bahkan 2013 itu Federal Reserves belum menaikan suku bunga, baru ancang-ancang mengatakan kita akan mulai normalisasi," katanya.

Kondisi demikian menimbulkan perception risk maupun real risk, yang turut membuat yield surat berharga negara melonjak dari 5,8 persen menjadi 6,8 persen pada 2013, dan kembali naik menjadi 8,1 persen pada 2014.

Surplus neraca pembayaran

Kondisi saat ini jauh lebih baik berkat kondisi neraca pembayaran yang mengalami surplus. Selain itu, terjadi penurunan defisit neraca transaksi berjalan berkat kondisi neraca perdangan Indonesia yang mencatatkan surplus.

Usai pandemi, kenaikan suku bunga AS mencapai 500 bps, yield SBN masih tetap terjaga stabil, dan depresiasi nilai tukar masih dapat dijaga. 

"Kalau kita lihat, beberapa policy kita sangat penting untuk menaikkan external balance. Resiliency kita seperti hilirisasi menjadi penting. Kami lihat hilirisasi nikel, tembaga, bauksit meningkatkan nilai tambah, dan itu menaikkan trade account balance kita, dan current account dengan FDI," kata Sri Muluani.

Magazine

SEE MORE>
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024
[Dis] Advantages As First Movers
Edisi Maret 2024
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024

Most Popular

35 Ucapan Maulid Nabi Muhammad 2024, Penuh Makna!
Meninjau Valuasi Spin-Off Anak Usaha Adaro dan Dampaknya
Adhi Karya Digugat PKPU Gara-Gara Proyek Hambalang
Apakah Uang Rp100 Ribu Bisa investasi? Ini Pilihannya
Mobil BYD Mulai Banyak Terlihat di Jalan, Ini Data Impornya
Tiga Pesan Penting Sidang Kabinet Terakhir Jokowi di IKN