Sri Mulyani Ungkap Kepemilikan Asing di SBN Tinggal 14 Persen
SBN tetap terpengaruh kondisi perekonomian global.
Fortune Recap
- Porsi kepemilikan asing di SBN menurun dari 40% menjadi 14% dalam 10 tahun terakhir.
- Bank Indonesia masih menjadi pemegang terbesar SBN dengan porsi 24,45% (gross) dan 22,36% (net).
- Pasar SBN tetap dipengaruhi sentimen global dan kebijakan negara maju.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan porsi kepemilikan asing pada surat berharga negara terus menurun dari waktu ke waktu. Tahun ini, investor non-resident atau asing hanya menggenggam 14 persen dari seluruh SBN yang diperdagangkan.
"Semakin besar investor SBN adalah investor dalam negeri. 14 persen investor SBN adalah investor global. Ini jauh menurun dari 10 tahun lalu di mana 40 persen investor SBN adalah investor global," ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (4/6).
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan pada 30 Mei 2024 menunjukkan kepemilikan asing pada SBN hanya tersisa 14,01 persen. Porsi terbesar kepemilikan SBN masih dipegang oleh Bank Indonesia: gross pada 24,45 persen, dan net—tidak termasuk SBN yang digunakan dalam operasi moneter dengan bank—22,36 persen.
Meskipun demikian, pasar surat berharga negara tetap dipengaruhi sentimen global dan kebijakan negara-negara maju. Pasalnya, relativitas suku bunga antara SBN Indonesia dengan SBN negara-negara maju menjadi faktor yang menentukan daya tarik—jika yield Treasury Amerika Serikat naik, misalnya, yield SBN juga harus naik agar tetap bisa menarik investor.
Sementara itu, nilai tukar dan yield surat utang turut menjadi faktor yang menentukan dalam penyusunan APBN.
Karena itulah, kata dia, koordinasi fiskal dan moneter terus dijaga dan diperkuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan yield dalam lingkungan higher for longer (bank sentral memutuskan untuk menjaga suku bunga tetap tinggi dalam waktu lebih lama).
"Dengan mencermati dinamika global dan kebutuhan untuk terus meningkatkan pembangunan Indonesia, maka arsitektur kebijakan fiskal 2025 adalah untuk menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," kata Sri Mulyani.
Koordinasi jaga inflasi
Sri Mulyani tidak lupa menyatakan bahwa koordinasi antara BI dan pemerintah terwujud pula melalui berbagai program bersama. Salah satunya, menjaga inflasi domestik pada kisaran 1,5–3,5 persen di tengah tingginya inflasi global.
Terlebih, kebijakan higher for longer terhadap suku bunga di negara-negara maju memicu arus modal keluar (capital outflow) dan menekan nilai tukar. Inflasi dari luar (imported inflation) pun harus diantisipasi dan dikoordinasikan.
Di sisi lain, tren kemiskinan diharapkan terus menurun dengan ketimpangan yang harus terus diturunkan, didukung dengan hilirisasi yang juga menciptakan sumber pertumbuhan yang baru baik secara spasial maupun sektoral. Sebab, sektor manufaktur berteknologi tinggi akan meningkatkan pendapatan para pekerja.
"Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), kami mendorong urgensi perbaikan kualitas SDM termasuk program pelatihan link and match dunia usaha dengan dunia pendidikan. Kesejahteraan rakyat harus ditopang dengan komitmen stabilitas harga sehingga inflasi terus terjaga rendah dan daya beli masyarakat yang terus meningkat," ujarnya.