Miliarder India, Gautam Adani Terlibat Skandal Suap Global US$2 Miliar
Tak cuma melanggar hukum, tapi juga rugikan investor global.
Jakarta, FORTUNE - Gautam Adani, miliarder pendiri Adani Group, menghadapi tuduhan serius terkait skandal suap senilai US$2 miliar atau Rp31,88 triliun (kurs Rp15.937,78/US$) yang melibatkan anak perusahaan Adani Green Energy dan Azure Power.
Dilansir dari Fortune.com, dakwaan yang diajukan di pengadilan federal New York pada Rabu (21/11), menyebut Adani bersama keponakannya, Sagar Adani, dan sejumlah eksekutif lainnya, dalam rencana empat tahun yang melibatkan suap kepada pejabat pemerintah untuk mendapatkan kontrak energi bernilai miliaran dolar.
Berdasarkan dakwaan, dugaan suap bernilai lebih dari US$250 juta (Rp3,98 triliun) itu dibayarkan kepada pejabat pemerintah India untuk mengamankan kontrak pasokan listrik. Total nilai pinjaman dan obligasi yang dikumpulkan melalui penipuan ini mencapai US$2 miliar. Skema tersebut disebutkan melibatkan manipulasi data, pertemuan rahasia, dan pengaburan fakta kepada investor serta bank.
Lisa H. Miller, Wakil Asisten Jaksa Agung AS, menyebut bahwa tindakan ini tidak hanya melibatkan pelanggaran hukum tetapi juga merugikan investor global, khususnya di Amerika Serikat.
"Dakwaan ini menuduh adanya skema untuk membayar lebih dari US$250 juta dalam bentuk suap kepada pejabat pemerintah India, berbohong kepada investor dan bank untuk mengumpulkan miliaran dolar, dan menghalangi keadilan," ujar Miller dalam pemberitaan Fortune.com.
Salah satu kontrak utama yang menjadi sorotan dalam dakwaan adalah proyek energi di Andhra Pradesh, India. Gautam Adani memuji proyek ini sebagai perjanjian energi “terbesar di dunia.” Namun, pembayaran suap sebesar US$228 juta (Rp3,63 triliun) yang diduga dilakukan untuk mengamankan proyek tersebut kini menjadi perhatian utama penyelidikan.
Kode Rahasia dan Bukti yang Dikaburkan
Dalam upaya untuk menyembunyikan skema ini, para terdakwa disebut menggunakan kode nama seperti ‘Mr. A’ atau ‘The Big Man’ untuk merujuk pada Gautam Adani.
Catatan digital yang melibatkan data suap juga ditemukan, termasuk dokumen yang disusun dalam format PowerPoint dan Excel. Salah satu dokumen bahkan menyarankan untuk mencatat suap sebagai ‘biaya pengembangan’ guna mengaburkan niat sebenarnya.
Beberapa eksekutif diduga sengaja menghancurkan bukti untuk menghalangi penyelidikan pemerintah AS. Vneet S. Jaain, CEO Adani Green, yang diberi kode 'V' atau 'Snake, disebut menggunakan ponselnya untuk menyimpan bukti berupa foto dokumen terkait pembayaran ilegal.
Kasus ini juga menyeret sejumlah eksekutif senior lainnya, termasuk Ranjit Gupta, mantan CEO penerbit energi terbarukan AS, serta Rupesh Agarwal, seorang konsultan strategis. SEC (Komisi Sekuritas dan Bursa di AS) mengonfirmasi bahwa penyelidikan dimulai sejak Maret 2022 dan hingga kini masih berlangsung.
Hingga saat ini, penyelidikan masih terus berlangsung. Para terdakwa disebut mencoba menutupi skema ini dengan menciptakan penyelidikan internal palsu, menggembar-gemborkan tata kelola perusahaan yang baik untuk mengaburkan dugaan pelanggaran hukum.
Kebangkitan dan Kejatuhan Gautam Adani
Nama Adani pernah menjadi salah satu yang paling dihormati di dunia bisnis. Ia dikenal sebagai pengusaha sukses yang mengembangkan Adani Group dari bisnis perdagangan komoditas kecil pada 1998 menjadi konglomerat raksasa dengan kapitalisasi pasar $200 miliar (Rp3,19 kuadriliun).
Pada puncaknya, Adani sempat dinobatkan sebagai orang terkaya ketiga di dunia. Namun, tuduhan ini mencoreng reputasi sang taipan. Anak perusahaannya, Adani Green Energy, yang didirikan bersama saudaranya Rajesh pada 2015, menjadi fokus penyelidikan. Sagar Adani, keponakan Gautam yang juga menjabat di perusahaan tersebut, diduga memiliki peran kunci dalam mengatur detail penyuapan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa keserakahan dan praktik bisnis yang tidak etis dapat merusak reputasi yang dibangun bertahun-tahun. Kejatuhan Gautam Adani menunjukkan bahwa akuntabilitas hukum berlaku untuk semua pihak, bahkan pemain besar di panggung bisnis global.