Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil
Wacana PPN 12 persen terus menuai kritik publik.
Fortune Recap
- INDEF menilai kenaikan PPN berpotensi memberikan dampak negatif merata kepada seluruh lapisan masyarakat.
- Fadhil Hasan menolak rencana kenaikan PPN, mengusulkan penerapan "super rich tax" sebagai alternatif yang lebih adil dan efektif.
Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah menaikkan persentase Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) menjadi 12 persen pada 2025 terus menuai kritik.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai kebijakan ini berpotensi memberikan dampak negatif yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama di tengah perlambatan ekonomi.
Ekonom Senior INDEF, Fadhil Hasan, secara tegas menolak rencana tersebut dan mengusulkan dua alternatif kebijakan yang dianggap lebih adil dan efektif dalam mendorong penerimaan negara tanpa membebani masyarakat luas.
"PPN sifatnya itu dampaknya ke semua, baik masyarakat menengah, bawah, maupun atas. Semua terkena imbasnya," kata dia saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/11).
Ia menyoroti pentingnya mempertimbangkan aspek keadilan dalam kebijakan pajak. Menurutnya, kenaikan PPN di tengah daya beli masyarakat yang sedang menurun justru akan memperburuk kondisi ekonomi.
Sebagai alternatif, Fadhil menyarankan pemerintah menerapkan super rich tax, yakni pajak tambahan bagi kelompok masyarakat dengan penghasilan sangat tinggi.
"Di berbagai negara, tren pajak keseluruhan memang menurun, tetapi untuk segmen tertentu, khususnya yang superkaya, justru harus ditingkatkan. Selain lebih adil, hal ini juga tidak akan memberikan dampak signifikan pada perekonomian secara keseluruhan," kata Fadhil.
Penerapan pajak ini, menurut Fadhil, dapat memberikan kontribusi tambahan pada penerimaan negara tanpa membebani masyarakat kelas menengah dan bawah.
Keadilan dan efisiensi sebagai prioritas
Selain pajak untuk golongan superkaya, Fadhil juga mengusulkan windfall profit tax, yaitu pajak yang dikenakan kepada perusahaan atau industri yang memperoleh keuntungan luar biasa tanpa upaya signifikan, seperti yang terjadi pada sektor komoditas selama lonjakan harga global.
"Contohnya, ketika harga minyak atau batu bara naik drastis akibat perang atau situasi global tertentu, perusahaan-perusahaan ini mendapatkan keuntungan besar tanpa melakukan usaha tertentu. Rezeki nomplok seperti ini wajar dikenakan tambahan pajak," kata Fadhil.
INDEF menegaskan bahwa kebijakan pajak yang adil dan tepat sasaran harus menjadi prioritas pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara. Pengenaan pajak terhadap kelompok superkaya dan keuntungan tidak terduga dinilai lebih relevan daripada menaikkan PPN yang akan berdampak pada seluruh lapisan masyarakat.
"Kedua alternatif ini dapat dilakukan untuk mendorong penerimaan pajak tanpa membebani masyarakat luas yang saat ini sedang menghadapi tekanan ekonomi," ujar Fadhil.
PPN bakal naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. Kenaikan ini sejalan dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam beleid itu, ditetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.