Demi Stok CPO, Indonesia Perketat Ekspor Minyak Jelantah
Prioritas utama pemerintah saat ini adalah stok CPO.
Fortune Recap
- Pemerintah Indonesia memperketat ekspor limbah pabrik kelapa sawit, POME, HAPOR, dan UCO mulai 8 Januari 2025.
- Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40.
- Kementerian Perdagangan mencatat ekspor POME dan HAPOR tumbuh 20,74% dalam lima tahun terakhir, sementara volume ekspor CPO turun rata-rata 19,54%.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia resmi memperketat ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) mulai Rabu, 8 Januari 2025.
Kebijakan ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Budi Santoso mengatakan bahwa kebijakan ini ditempuh guna menjamin ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/Cpo) bagi industri minyak goreng dalam pelaksanaan minyak goreng rakyat. Selain itu, mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).
"Menindaklanjuti arahan Presiden [Prabowo Subianto], kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40," ujar Budi dalam keterangannya, dikutip Jumat (10/1).
Prioritas pemerintah terkait ekspor minyak
Lanjut dia, meskipun bakal ada dampak dari kebijakan ini, Budi menegaskan bahwa pemerintah memprioritaskan kepentingan industri dalam negeri atau yang paling utama.
Dalam beleid tersebut, dia menjelaskan tak hanya mengatur kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit residu, yaitu POME, HAPOR, dan UCO, tapi juga syarat untuk mendapat Persetujuan Ekspor (PE).
Berdasarkan Permendag 2 Tahun 2025 Pasal 3A, kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit berupa UCO dan residu dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi yang digelar oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pemerintahan di bidang pangan.
Selain itu, pembahasan juga menyangkut alokasi ekspor sebagai syarat mendapatkan persetujuan ekspor. Budi pun menjamin bagi para eksportir yang sudah memiliki PE Residu dan PE UCO yang telah diterbitkan berdasarkan Permendag Nomor 26 Tahun 2024, tetap bisa melaksanakan ekspor.
"PE-nya masih tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir," kata Budi.
Jumlah ekspor selama 2024
Sementara itu, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI) mencatat pada periode Januari–Oktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton. Volume ekspornya lebih besar daripada ekspor CPO pada periode yang sama, yakni 2,7 juta ton.
Pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton. Volume ekspornya pun lebih besar dibandingkan ekspor CPO pada periode yang sama, yaitu 3,60 juta ton.
Kemendag juga melaporkan ekspor POME dan HAPOR tumbuh 20,74 persen dalam lima tahun terakhir, tepatnya pada 2019–2023. Sedangkan volume ekspor CPO turun rata-rata sebesar 19,54 persen pada periode yang sama.
Berdasarkan data tersebut, Budi menilai bahwa ekspor POME dan HAPOR tercatat melebihi kapasitas wajar yang seharusnya atau hanya sekitar 300 ribu ton. Dia memandang hal ini menjustifikasi POME dan HAPOR yang diekspor bukan murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli.
Dia juga memperkirakan volume ekspor POME dan HAPOR dapat terus meningkat di masa mendatang.
"Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri di dalam negeri," kata Budi.
Selain itu, lanjut dia, peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan dari tandan buah segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR. Menurut Budi, kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh pabrik kelapa sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan.
"Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS," tandas dia.