Ekonom Desak Pemerintah Evaluasi Larangan LPG 3 Kg, Berisiko!
Ini risiko-risiko hingga rekomendasi yang diberikan.
Fortune Recap
- Ekonom Achmad Nur Hidayat mendesak pemerintah untuk mengevaluasi larangan pengecer menjual LPG 3 kg yang diberlakukan sejak 1 Februari 2025.
- Kebijakan tersebut dianggap dapat memunculkan gejolak sosial dan ekonomi yang lebih besar, serta membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
- Achmad merekomendasikan agar pemerintah memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan subsidi LPG 3 kg, bukan dengan cara membatasi akses atau mempersulit rakyat kecil.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mendesak pemerintah Indonesia segera mengevaluasi kebijakan larangan pengecer menjual LPG 3 Kg. Kebijakan tersebut resmi diberlakukan pemerintah sejak 1 Februari 2025.
“Jika kebijakan ini terus dipaksakan tanpa evaluasi yang matang, maka bukan tidak mungkin akan muncul gejolak sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima Fortune Indonesia, Selasa (4/1).
Kemudian dia menyebut bahwa masyarakat makin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Sementara sektor ekonomi kecil yang seharusnya menjadi tulang punggung justru makin melemah.
“Oleh karena itu, sebelum terlambat, pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan ini dan mencari solusi yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar solusi yang tampak baik di atas kertas tetapi menyengsarakan dalam pelaksanaannya,” kata Achmad.
Timbulkan masalah di masyarakat
Menurut dia, kebijakan baru ini jelas telah menimbulkan banyak permasalahan bagi masyarakat, terutama kelas bawah dan kelas menengah. Alih-alih memberikan solusi, kebijakan tersebut justru menambah kesulitan bagi mereka yang sudah berjuang keras untuk bertahan hidup.
“Dengan sistem pembatasan yang berbelit dan distribusi yang makin sulit, masyarakat makin terbebani, sementara ekonomi kecil juga mulai terancam,” tutur Achmad.
Beberapa warga di Bogor mulai beralih ke kayu bakar
Lebih lanjut Achmad, kondisi per kemarin, Senin (3/2) memperlihatkan adanya antrean panjang pembelian LPG 3 kg di Jakarta dan sekitarnya. Hal ini mengingatkan kondisi Indonesia pada 1960-an ketika antrean minyak tanah.
“Beberapa warga di daerah Bogor bahkan mulai beralih menggunakan kayu bakar akibat sulitnya mendapatkan LPG. Bagi rakyat kecil, aturan ini makin menambah beban hidup yang sudah berat, sementara bagi kelas menengah, efek domino dari kebijakan ini juga mulai terasa,” beber dia.
Untuk diketahui, puluhan ibu-ibu di Kecamatan Leuwiiang, Kabupaten Bogor memprotes aparat desa setempat yang disebabkan oleh kelangkaan LPG 3 kg. Akibatnya, warga terpaksa beralih menggunakan kayu bakar akibat kelangkaan tabung LPG 3 kg.
Dampak terhadap kelas bawah: Hidup makin sulit
Bagi masyarakat kelas bawah, ujar Achmad, LPG 3 kg adalah kebutuhan pokok yang tak bisa ditawar. Banyak yang menggantungkan hidupnya pada gas bersubsidi ini untuk memasak di rumah maupun menjalankan usaha.
“Dengan adanya kebijakan baru yang mewajibkan pendaftaran atau persyaratan tertentu untuk membeli LPG 3 kg, masyarakat miskin makin dipersulit untuk mendapatkan apa yang selama ini sudah menjadi hak mereka,” kata Achmad.
Misalnya, beber dia, seorang pedagang gorengan yang sebelumnya bisa dengan mudah membeli LPG 3 kg di warung sekitar rumahnya, kini harus memenuhi syarat administrasi tertentu atau terdaftar dalam sistem tertentu untuk mendapatkannya.
Achmad juga menyebut tak semua warga memiliki akses atau pemahaman yang cukup terkait proses ini. Apalagi jika harus mengurus berbagai dokumen tambahan.
“Ini tentu menambah beban bagi mereka yang sehari-hari sudah disibukkan dengan mencari nafkah,” tutur dia.
Tak hanya itu, kata Achmad, distribusi LPG 3 kg yang makin ketat menyebabkan banyak pengecer tak bisa menjualnya secara bebas dan membuat masyarakat kesulitan mendapatkannya. Banyak warga yang harus berkeliling ke berbagai tempat hanya untuk mendapatkan satu tabung gas.
“Bayangkan jika mereka harus berhadapan dengan antrian panjang atau kuota yang sudah habis lebih dulu? Ini jelas bukan kebijakan yang membantu, tetapi justru memperumit kehidupan rakyat kecil,” pungkas dia.
Rekomendasi terhadap kebijakan LPG 3 kg
Achmad pun merekomendasikan pemerintah untuk memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan subsidi LPG 3 kg, bukan dengan cara membatasi akses atau mempersulit rakyat kecil.
Subsidi seharusnya diperluas untuk menjangkau lebih banyak masyarakat yang benar-benar membutuhkan, bukan malah makin dipersempit dengan aturan yang membingungkan.
“Pemerintah harus memahami bahwa kebijakan yang baik adalah yang memudahkan, bukan yang menyulitkan,” ungkap Achmad.
Sebelumnya, Sabtu (1/2), Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi merespons soal kebijakan pengaturan penjualan LPG 3 kg. Politikus Partai Gerinda tersebut mengatakan kebijakan itu perlu dilakukan agar subsidi pemerintah tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh orang-orang yang bukan haknya.
“Namun, alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru menyulitkan banyak orang dan menimbulkan polemik yang luas,” kata Achmad.