Bulog Mau Jadi Lembaga di Bawah Presiden seperti pada Era Soeharto
Erick setuju Bulog tidak lagi jadi BUMN.
Fortune Recap
- Bulog akan berubah dari perusahaan pelat merah menjadi badan otonom, mengendalikan pasokan dan harga pangan.
- Ketua Komisi IV DPR mendukung transformasi Bulog ke model pada era Soeharto.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyetujui rencana peralihan Perum Bulog dari perusahaan pelat merah menjadi badan otonom yang berada langsung di bawah residen. Menurutnya, hal tersebut penting demi mendukung program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintahan Prabowo Subianto.
"Bulog itu ada di Komisi di DPR, katanya sudah mulai menggodok itu jadi badan dan saya setuju," ujar Erick usai acara penandatanganan jual beli emas batangan antara PT Freeport Indonesia dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) di Hotel Indonesia Kempinski, Kamis (7/11).
Bulog pernah menjadi badan penerintah non-departemen yang berada langsung di bawah presiden pada era Orde Baru. Namun, sejak 1997 Bulog hanya ditugasi mengurus beras dan gula pasir, kemudian hanya ditugasi mengurus beras sejak 1998. Usai reformasi, upaya liberalisasi menyebabkan Bulog bertransformasi menjadi badun usaha milik negara (Perum Bulog) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003.
Menurut Erick, perubahan Bulog sebagai lembaga di bawah presiden penting karena salah satu tugas BUMN tersebut adalah memastikan stabilisasi pasokan dan harga pangan.
"Selalu petani mengeluh, harganya jatuh enggak ada yang beli. Iya kan? Harganya mahal, ya juga tidak diapresiasi. Padahal kalau harga mahal, petaninya dapat income-nya lebih. Nah, equilibrium (keseimbangan) ini memang harus di Bulog," ujarnya.
Namun demikian, dalam urusan tersebut, Bulog juga menjadi perantara antara petani ke konsumen yang membutuhkan bantuan pembiayaan cukup besar, bahkan mencapai Rp26 triliun untuk melakukan operasi pasar.
"Jadi, Bulog itu menjadi sebuah badan yang bisa mengontrol fluktuasi harga pangan yang selama ini mungkin sulit, dan saya pernah paparan di Komisi VI Bulog itu perlu Rp 26 triliun, di mana nanti setelah operasi pasar mungkin [menyebabkan kerugian kepada Bulog] Rp 5-6 triliun," katanya.
Selama ini, operasi pasar yang dilakukan Bulog ditopang oleh pinjaman dari bank Himbara, yang dananya mencapai Rp30 triliun.
"Kalau pinjam Himbara, ada bunganya. Kalau negara hadir, beda. Itu keberpihakan negara untuk rakyat," ujarnya.
Menurut Erick, kelembagaan Bulog perlu diubah, tidak lagi menjadi BUMN.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Wahyu Suparyono mengatakan Bulog akan beralih menjadi badan otonom, sehingga secara otomatis tidak lagi berada di bawah Kementerian BUMN. Status Bulog akan seperti Badan Gizi Nasional yang berada di bawah presiden. Transformasi ini akan diatur melalui Keputusan Presiden (Keppres)
Terkait hal tersebut, Ketua Komisi IV DPR, Siti Hediati Soeharto, mengatakan pemerintah tidak perlu ragu dengan ide mengembalikan peran dan fungsi Bulog seperti pada Era Soeharto. Sebab, menurutnya kelembagaan Bulog pada masa lalu terbukti berhasil mengendalikan pasokan dan harga pangan.
“Kalau saya pribadi, kita ngapain sih mesti cari-cari formula baru. Zamannya Pak Harto dulu kita bisa swasembada beras gitu. Kenapa kita enggak tinggal nyontek aja, lihat dan bisa disesuaikan dengan kekiniannya, ke suasana sekarang gitu,” ujar di Komisi IV DPR, Selasa (5/11).