Chatib Basri Wanti-Wanti Potensi Tekanan Konsumsi pada 2024
Pemerintah harus waspadai defisit anggaran AS.
Fortune Recap
<ul>
<li>Chatib Basri mewanti-wanti pemerintah akan potensi tekanan konsumsi masyarakat pada 2024 akibat kontraksi tabungan dan deposito.</li>
<li>Belanja kelompok masyarakat dengan pendapatan Rp5 juta ke bawah tetap kuat, namun pola konsumsi mulai tertahan, terutama barang sekunder dan tertier.</li>
<li>Kebijakan fiskal seperti BLT dengan cash transfer diperlukan untuk mempertahankan konsumsi tahun depan, sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada investasi.</li>
</ul>
Jakarta, FORTUNE - Ekonom Senior, Chatib Basri, mewanti-wanti pemerintah akan potensi tekanan konsumsi masyarakat pada 2024. Pasalnya, jika menengok data yang disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung, dalam Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024, terjadi kontraksi pada tabungan dan deposito masyarakat sepanjang tahun ini.
Sementara di sisi lain, belanja kelompok masyarakat dengan pendapatan Rp5 juta ke bawah masih tetap kuat.
"Ini menarik. Kalau konsumsi tetap tinggi, tapi saving turun, pertanyaannya adalah dia biayai dari mana? Ada kemungkinan tadi Pak Juda mengatakan mungkin dia mulai melakukan saving. Artinya bahwa mungkin konsumsi akan mulai melambat," ujarnya, Jumat (22/12).
Menurut Chatib, potensi tersebut sejalan dengan data Mandiri Spending Index yang menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat mulai tertahan, dan porsi terbesar konsumsinya adalah untuk makanan.
"Ciri dari ekonomi yang melambat adalah mulai [berkurangnya] permintaan akan barang sekunder dan tertier, dan ini porsi terbesar dari konsumsinya adalah makanan. Artinya, kita bisa melihat bahwa ada kemungkinan tekanan terhadap konsumsi," katanya.
Karena itu, lanjut Chatib, apa yang dilakukan pemerintah lewat serangkaian kebijakan fiskal—seperti menggelontorkan BLT dengan cash transfer—sudah tepat untuk mempertahankan konsumsi pada tahun depan. "Perkiraan kita [pertumbuhan ekonomi] 4,9–5 persen pada 2024," ujarnya.
Dalam jangka menengah, menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada investasi. Sebab, untuk bisa mendorong ekonomi tumbuh 6-7 persen, Indonesia membutuhkan rasio investasi terhadap produk domestik bruto sebesar 41–48 persen.
"Sementara, domestic savings kita 37 persen. Jadi, kecuali kita bisa memperbaiki produktivitas untuk menurunkan ICOR (Incremental Capital to Output Ratio), ekonomi akan bertahan pada kisaran 5,5 sampai dengan 6 persen," katanya.
Waspada volatilitas pasar uang
Selain tekanan terhadap konsumsi masyarakat, Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu juga mengingatkan adanya risiko volatilitas di pasar uang menyusul kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS).
Saat ini, kata Chatib, memang terdapat semacam konsensus pasar bahwa Fed akan menurunkan suku bunga acuannya pada paruh kedua tahun depan. Namun, di sisi lain, defisit anggaran AS yang telah mencapai 9 persen terhadap PDB juga perlu diwaspadai.
"Kalau probabilitas dari resesi AS menurun, maka implikasinya adalah perusahaan di AS akan mulai melakukan ekspansi. Artinya, permintaaan terhadap UST Bills akan mengalami penurunan. Di sisi lain, suplai dari UST Bills itu akan naik untuk membiayai defisit yang 9 persen," ujarnya.
Dus, meskipun terdapat tren penurunan suku bunga pada paruh kedua 2024, pemerintah dan BI perlu mengantisipasi seandainya terjadi ekses suplai di pasar surat berharga AS yang mengakibatkan kenaikan imbal hasilnya.
"Itu yang akan menimbulkan volatilitas di dalam bond market di AS, tapi saya kira BI tetap memonitor soal itu," katanya.
Antisipasi konflik Hamas-Israel
Chatib juga meminta pemerintah mewaspadai kemungkinan pernurunan pertumbuhan ekonomi Cina, yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Sebab, berbagai proyeksi memberi sinyal bahwa perekonomian Negeri Bambu hanya akan tumbuh 4,5 persen tahun depan.
"Kalau sensitivity analysis-nya, 1 persen pertumbuhan ekonomi Cina akan menurunkan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen. Jadi, kalau [Cina] sekarang 5,3 persen turun ke 4,5 persen, 0,7 persen mungkin dampaknya ke ekonomi Indonesia, 0,2 persen perlambatan dari yang terjadi," katanya.
Hal lain yang juga perlu diantisipasi adalah meningkatnya ekskalasi konflik antra Hamas dan Israel. Pasalnya, meluasnya konflik kedua pihak di Timur Tengah dapat membuat harga minyak meningkat.
"Kita tidak pernah tahu ini akan terus belangsung sejauh mana," ujarnya.
Untungnya, kata Chatib, pemerintah memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menahan kenaikan harga minyak. Sebab, tahun ini, defisit anggaran berada jauh di bawah target pemerintah.
"Defisit anggaran kita itu sampai dengan November relatif sangat kecil. 0,2 sekian persen kalau saya enggak salah. Artinya, kalaupun harga minyak mengalami peningkatan sampai dengan US$146 per barel, rasanya pemerintah tidak akan [mengalihkan] dampaknya ke konsumen. Jadi, ada ruang di dalam fiskal untuk menyerap subsidi di 2024, sehingga saya tidak terlalu khwawatir," katanya.