Moody's Ingatkan Korporasi Batu Bara RI soal Risiko Pembiayaan
Risiko kredit pertambangan batu bara RI meningkat.
Jakarta, FORTUNE - Perusahaan tambang batu bara Indonesia dapat menghadapi kekurangan pendanaan mengingat bank domestik dan internasional, serta investor obligasi, semakin selektif dalam memberikan pinjaman ke sektor ini di tengah meningkatnya kesadaran dan peraturan iklim.
Hal tersebut tertuang dalam Laporan Moody's Investors Service bertajuk "Indonesia's Coal Companies to Face Funding Gap as Banks Curb Lending to the Sector" yang dirilis pekan lalu.
"Bank domestik Indonesia memasukkan pertimbangan lingkungan, sosial, tata kelola (ESG) ke dalam praktik manajemen risiko mereka dengan persyaratan bahwa peminjam mengadopsi langkah-langkah transisi karbon," kata Tengfu Li, Analis Moody, dikutip Fortune Indonesia Senin (29/11).
"Oleh karena itu, perbankan domestik akan semakin selektif dalam menyalurkan kredit ke sektor batu bara," sambungnya.
Sejak 2017, tulis laporan itu, Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK) menerapkan regulasi yang mewajibkan bank untuk mengajukan tindakan keuangan berkelanjutan dan menerbitkan laporan keberlanjutan setiap tahun. OJK memulai fase kedua dari peta jalan yang akan memperkenalkan inisiatif baru seperti taksonomi hijau, yang akan memperkuat disiplin bank dalam mengelola risiko transisi karbon.
Di tengah menyusutnya pinjaman bank, risiko pembiayaan juga kembali akan meningkat jika penambang Indonesia tidak dapat membayar utang dari arus kas atau melakukan diversifikasi dari batubara termal.
Moody's mencatat sejumlah perusahaan pertambangan batu bara Indonesia yang mereka nilai dalam laporan tersebut memiliki obligasi dalam bentuk dolar sekitar US$2,9 miliar dan akan jatuh tempo antara tahun 2024-26.
"Perusahaan-perusahaan ini tidak mungkin untuk sepenuhnya membiayai kembali jatuh tempo obligasi ini dengan pinjaman bank domestik karena pokok agregat obligasi ini besar, setara dengan sekitar 30 persen dari total pinjaman perbankan domestik ke sektor pertambangan per Agustus 2021,” kata Maisam Hasnain, Vice President Moody's.
"Kami berharap para penambang dapat memanfaatkan arus kas yang kuat di tengah harga batu bara yang tinggi saat ini untuk melunasi utang."
Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan komitmen perbankan Indonesia untuk melakukan pembiayaan makin meningkat. Hal ini juga terlihat dari dimasukkannya Indonesia oleh Sustainable Banking and Finance Network (SBFN) sebagai negara dalam tahap konsolidasi regulasi keuangan berkelanjutan di tahun 2021.
Bersama Republik Rakyat Tiongkok dan Kolombia, pembiayaan Indonesia dinilai selangkah lebih maju dari tahapannya.
OJK sendiri, kata Wimboh, telah memantau risiko terkait perubahan iklim serta krisis energi yang menambah tekanan pada ekonomi global. Tingginya biaya transisi ke ekonomi rendah karbon membawa tantangan dalam mempercepat implementasi pembiayaan berkelanjutan di negara berkembang.
"Risiko perubahan iklim tersebut harus diperlakukan sebagai prioritas tinggi dan perlu dikurangi dengan upaya kolaboratif seluruh pemangku kepentingan," tuturnya dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (4/11).
Dalam mengakselerasi keuangan berkelanjutan, OJK juga telah menyiapkan sejumlah strategi dalam Roadmap tahap kedua pada 2020 hingga 2024.
Sasaran strategis itu meliputi terciptanya ekosistem yang mendukung percepatan keuangan berkelanjutan, peningkatan pasokan dan permintaan dana dan instrumen keuangan yang ramah lingkungan, serta penguatan pengawasan dan koordinasi dalam penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia.