Pemerintah Kaji Penerapan Pajak Karbon Akhir 2022
Penerapan pajak karbon pertimbangkan kondisi ekonomi.
Jakarta, FORTUNE - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan tengah mempertimbangkan kemungkinan penerapan pajak karbon di akhir 2022. Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan BKF Adi Budiarso menuturkan, penerapan kebijakan itu akan mempertimbangkan kondisi perekonomian domestik di tengah ketidakpastian global sampai yang terus terjadi hingga sekarang.
"Pemerintah terus melanjutkan perumusan peraturan yang diperlukan untuk menerapkan pajak karbon di masa depan. Kami mungkin terus memantau kondisi ekonomi domestik untuk melihat momen yang tepat untuk penerapan pajak karbon akhir tahun ini," ujarnya dalam CGS-CIMB 14th Annual Indonesia Conference 2022, dikutip Rabu (10/8).
Sebagai informasi, pemerintah telah dua kali menunda penerapan pajak karbon yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Mengacu pada beleid tersebut, harusnya kebijakan pajak karbon diterapkan pada April 2022. Namun, jelang pemberlakukannya, pada akhir Maret pemerintah mengumumkan pengunduran rencana tersebut menjadi Juli 2022.
Saat itu, Kepala BKF Febrio Nathan Kacaribu mengatakan penundaan pungutan pajak tersebut disebabkan pemerintah masih perlu menyelaraskan UU HPP dengan Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Pajak karbon sendiri merupakan instrumen penetapan harga karbon yang mendukung paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. Menurut Adi, ini juga merupakan tiga tujuan penerapan pajak karbon antara lain mengubah perilaku masyarakat dalam hal produksi emisi, mendukung pengurangan emisi dan mendorong inovasi dan investasi ekonomi hijau.
"Prinsip penyesuaian pajak karbon terjangkau dan diterapkan secara bertahap untuk mendukung penyesuaian dan transisi energi yang berkelanjutan Kami telah merancang peta jalan pajak karbon hingga tahun 2025 sayangnya karena situasi ekonomi global, penerapan pajak karbon telah ditunda atau bagaimanapun," tutur Adi.
Pada 23 Juni lalu, Kepala BKF Febrio kembali menuturkan bahwa pemerintah menunda penerapan pajak karbon dengan alasan yang hampir sama, yakni kondisi perekonomian belum cukup kondusif saat ini perlu diantisipasi pemerintah dengan cara lebih hati-hati dalam pengambilan kebijakan.
Di sisi lain, saat ini kementerian dan lembaga (K/L) terkait juga masih terus menyempurnakan skema pasar karbon sebagai salah satu upaya mendukung pencapaian target national determined contribution (NDC), yang merupakan turunan dari ratifikasi Kesepakatan Paris.
"Karena kita yakin bahwa pasar karbon ini akan sangat krusial bagi pencapaian NDC kita, termasuk juga kita memperbaiki, menyempurnakan peraturan perundang-undangan terkait ini semua, yang akan menjadi pelengkap penerapan pajak karbon," jelasnya.
Meski demikian, Febrio menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk menerapkan mekanisme pajak karbon di tahun ini. Pasalnya, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga telah mengamanatkan pemberlk kebijakan tersebut pada 2022.
Namun, nantinya pengenaan pajak karbon akan terlebih dahulu diberlakukan pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) yang telah memulai pilot project pemberlakuan cap and trade.
"Ini akan mendukung mekanisme pasar karbon yang diberlakukan dengan cap and trade yang sudah berlangsung di antara PLTU yang ini sudah dilakukan oleh kementerian ESDM," jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga tetap berkomitmen menjadikan penerimaan pajak karbon di 2022 sebagai penggerak kebijakan strategis yang menjadi show case dalam pertemuan tingkat tinggi G20.
Termasuk bagian dari show case ini, lanjut Febrio, pemerintah juga akan mendorong aksi mitigasi perubahan iklim lainnya seperti strategis energy transition mechanism yang tengah dimatangkan.
"Di satu sisi adalah untuk mempensiunkan secara dini PLTU batubara, kita sebut sebagai phasing down coal di sisi lain juga mengakselerasi pembangunan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan," tandasnya.