PLN Ungkap Skenario Akselerasi EBT Berpotensi Bebani Keuangan
Tantangan pendanaan transisi energi kian berat.
Jakarta, FORTUNE - Sejumlah skenario transisi energi berisiko membebani keuangan PT PLN (Persero) di masa depan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Keuangan PT PLN (Persero), Sinthya Roesly, pada sesi panel pertama EBTKE ConEx 2023, Rabu (12/7).
Dalam paparannya, Sinthya mengatakan PLN telah menyusun empat skenario transisi energi menuju net zero emission (NZE) hingga 2040, yakni business as usual (BAU), accelerated renewable energy (ACCEL), ultra-accelerated renewable energy (ULTRA), dan hybrid gas & renewable energy (HYBRID).
Dengan skenario ACCEL dan ULTRA, menurutnya, terdapat konsekuensi akseptabilitas dan keberlanjutan terhadap keuangan PLN. Sebab, dengan pendapatan perusahaan serta penetapan tarif listrik saat ini, PLN harus menarik pendanaan besar-besaran untuk dapat berinvestasi pada pembangkit EBT.
"Kami akan terekspos kepada suatu interest sparing debt yang luar biasa karena investasi yang cukup besar. Kemudian juga akan berada pada suatu kondisi di mana debt to EBITDA atau rasio keuangan akan melampaui debt governance yang ada sekarang. Demikian juga dengan ultra accelerated. Jadi, ini sesuatu yang kita lihat secara finansial ini akan berdampak pada keberlanjutan keuangan PLN," ujarnya.
Sebagai gambaran, dengan skenario ACCEL, PLN mengasumsikan emisi CO2e dari sektor ketenagalistrikan bisa berkurang sekitar 370 juta ton per tahun. Namun, untuk mencapainya, PLN hanya boleh menambah pembangkit EBT untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrik yang meningkat pada 2030-2040. Demikian juga dengan skenario ULTRA yang mengharuskan PLN untuk menambah pembangkit EBT dan melakukan pensiun dini pembangkit batu bara pada periode tersebut.
Meski demikian, dengan skenario BAU, emisi yang dihasilkan dari sektor ketenagalistrikan akan mencapai sekitar 411 juta ton CO2e per tahun—lantaran hanya mengandalkan penggunaan gas sebagai bahan bakar pembangkit baru pada 2030–2040.
Hal tersebut tidak sejalan dan akan menghambat pencapaian target NZE pada 2060.
Menurut Sinthya, titik optimal akseptabilitas dan keberlanjutan keuangan PLN dapat tercapai dengan skenario HYBRID. Dalam rencana ini, PLN dapat menambah suplai listrik dengan bauran energi baru terbarukan dan gas.
"Jadi, 50 persen transisi ini akan diisi oleh gas dan 50 persen oleh renewable energy. Nah saat ini, ini menjadi middle ground yang secara financial corporate sustainability yang saat ini dianggap acceptable," katanya.
Tantangan Pendanaan Kian Berat
PLN karenanya terus mendorong skenario Hybrid dalam transisi energi menuju NZE dari sisi perencanaan. Namun, untuk memastikan rencana tersebut kredibel secara metodologis dan teknis, PLN tidak bisa bekerja sendiri.
Apalagi, untuk memenuhi kebutuhan pendanaan skenario tersebut PLN mengandalkan sumber-sumber yang saat ini tersedia. Salah satunya melalui Just Energy Transition Partnership (JETP).
"Apa saja aspek yang kita lihat termasuk kebutuhan investasi dari sisi pembangkitan, juga dari sisi transmisi yang kita sebut green enabling infrastructure—yang juga kita lihat interkoneksi apa saja yang diperlukan antara Jawa dan Sumatera, Sumatera dan Kalimantan dan lain sebagainya," ujarnya.
Menurutnya, tanpa mengoptimalkan sumber-sumber yang saat ini tersedia, tantangan dalam mendanai transisi energi ke depan memang akan kian berat.
"Tantangan dari funding saat ini juga semakin menerpa kita. Karena tadi, seluruh investor dan lender pun sekarang memiliki roadmap dekarbonisasi mereka sendiri. Dan mereka juga makin memiliki restriksi untuk menyediakan lending ataupun investasi kepada perusahaan seperti kita," katanya.
Berdasarkan skenario PLN, kebutuhan investasi untuk transisi pada 2040 bisa mencapai sekitar US$90 miliar. Sementara, sumber pendanaan yang tersedia melalui JETP saat ini hanya sekitar US$20 miliar—terdiri dari commercial loans US$10 miliar dan concessional loans US$10 miliar.
"Nah, ini yang menjadi tantangan bagaimana kita ke depan mampu mengakses funding ke pasar. Apalagi, minggu lalu 26 Juni itu International Sustainability Bond untuk standar sudah menerbitkan IFRS S1 dan S2. Jadi, sustainability risk related dan climate related. Jadi, ke depan perusahaan seperti kita harus membangun suatu disclosure terhadap sustainability dan juga climate risk," ujarnya.