Tanpa Eksplorasi Baru, Cadangan Tembaga Indonesia Cuma sampai 2043
Kebutuhan tembaga dunia diperkirakan 35 juta ton pada 2040.
Jakarta, FORTUNE - Cadangan bijih tembaga Indonesia diperkirakan akan habis pada tahun 2043. Peneliti sekaligus Dosen Teknik Metalurgi ITB Imam Santoso mengatakan kondisi itu bisa terjadi lantaran total cadangan pada tahun lalu sudah berada di angka 3,1 miliar ton. Sementara tiap tahunnya, produksi tambang dalam negeri mencapai 129 juta ton.
"Kalau kita tambang dengan kecepatan 129 juta ton per tahun maka umur cadangan kita hanya sampai 23 tahun," tuturnya dalam webinar Grand Strategi Komoditas Minerba, Selasa (2/11).
Namun, lanjut Imam, Indonesia bisa terus memperpanjang umur cadangannya dengan kegiatan eksplorasi baru. Pasalnya, sumber daya tembaga negeri ini mencapai 15,9 miliar ton. Dari total tersebut, 16,36 juta ton di antaranya bersifat hipotek; 8,5 miliar merupakan sumber daya tereka; 4,6 miliar sumber daya tertunjuk; dan 2,6 miliar terukur.
Ekplorasi juga diperlukan lantaran kebutuhan tembaga akan terus tumbuh dari tahun ke tahun. Pada 2040, kebutuhan tembaga dunia diperkirakan mencapai 35 juta ton. "Sedangkan Indonesia, kebutuhan tahunannya diprediksi sebanyak 2 juta ton," tuturnya sembari menambahkan bahwa produksi tembaga Indonesia saat ini hanya di angka 269 ribu ton di tahun lalu.
Permintaan tembaga di dalam negeri juga akan meningkat seiring dengan makin berkembangnya hilirisasi. Untuk katoda tembaga misalnya, saat ini kebutuhan domestik untuk industrinya berada di angka 362 ribu ton. Jumlah yang bisa dipasok dari dalam negeri baru sebesar 260 ribu ton sementara sisanya, sebanyak 291 ribu ton, masih diimpor.
"Kebutuhan domestik katoda tembaga saat ini sekitar 362 ribu ton. kebutuhan ini dipasok dari smelter Gresik 260 ribu. Sisanya impor sekitar 291 ribu ton," imbuhnya.
Perlu Optimalisasi
Selain peningkatan cadangan, menurut Imam, Indonesia juga perlu melakukan optimalisasi dan efisiensi industri, serta penambahan pabrik pengolahan dan pemurnian baru.
Dalam hal optimalisasi, industri hilir harus lebih banyak menggunakan tembaga dalam negeri. Ia menuturkan, saat ini sebanyak 1,1 juta dari 2,2 juta ton konsentrat tembaga Indonesia diekspor ke luar negeri. Sementara untuk katoda tembaga ekspornya mencapai 197,5 ribu dari 268,6 ribu ton yang diproduksi.
Kemudian, penambahan fasilitas smelter juga diperlukan dalam rangka pengolahan dan pemurnian. Pasalnya, hal ini dapat memberikan nilai tambah pada produk tembaga Indonesia dan memberikan pemasukan lebih besar kepada negara.
"Misalnya perusahaan penambang tanpa membangun smelter, maka pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak sekitar Rp285 miliar dan pajaknya Rp535 miliar. Kalau dia membangun smelter peningkatan sampai Rp3 triliun pertahunnya," tutur Imam.
Jadi ini perlu didorong karena bukan hanya menguntungkan dampak tidak langsung tetapi juga dampak langsung yaitu pendapatan negara.
Di samping itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kemampuan fasilitas pemurnian tersebut untuk dapat mengefisiensi produksi. Misalnya, untuk mengolah lumpur anoda yang selama ini tak bisa diolah dalam negeri dan hanya diekspor. Padahal, sisa pengolahan tersebut masih bisa diolah kembali dan menghasilkan produk sampingan seperti emas hingga perak.
"Emasnya tidak kabur ke luar negeri Karena pabrik smelter produknya adalah lumpur anoda yang selama ini diekspor ke luar negeri. Jadi ini harus diolah ke dalam negeri. Jadi harus ada industri yang memproses lumpur anode yang bisa menghasilkan emas perak dan lain-lain," tandasnya.