Jakarta, FORTUNE – Anggota Komisi VI DPR RI, Intan Fauzi, mengungkapkan dari total 575 anggota DPR RI periode tahun 2019-2024, baru 21 persen yang mewakili dari gender perempuan. Namun demikian, dia bersyukur sebab persentase tersebut telah meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya.
“Karena periode sebelumnya itu di bawah 19 persen. Yang mejadi masalah adalah afirmasinya. Itu kan bukan untuk duduk di kursi DPR RI, tapi 30 persen keterwakilan perempuan menjadi calon anggota legislatif,” kata Intan pada acara Indonesia Millennials and Gen-Z Summit (IMGS) 2022 stage Visionary Leaders By IDN Times di The Tribrata, Jakarta, Jumat (30/9).
Intan juga mendukung target yang dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang menargetkan porsi anggota DPR perempuan bisa mencapai 30 persen dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Masyarakat diminta terus kawal rapat DPR
Dia menambahkan, millennial dan gen Z harus sadar dan bisa terlibat langsung dalam politik praktis. Sebab, segala putusan banyak terjadi di gedung DPR. Pada era teknologi yang canggih, dia meminta anak muda bisa terus mengawal proses rapat melalui siaran langsung media sosial hingga YouTube.
Dia juga membantah bahwa presepsi anggota DPR seluruhnya negatif. Sebab, masing-masing anggota DPR selalu berupaya bekerja keras untuk daerah pemilihannya (dapil) yang diwakilinya.
Tidak hanya itu, dia juga menekankan setiap satu anggota DPR hanya mewakili sejumlah daerah pemilihannya (dapil) dan tidak mewakili seluruh penduduk Indonesia.
"Persepsi kan bisa dibentuk, saya ajak millennial dan Gen Z untuk tahu kerja-kerja DPR," ujar Intan.
Tiga kendala besar perempuan menjadi anggota DPR
Dalam kesempatan tersebut, aktivis sekaligus mantan anggota DPR dan anggota Partai Politik Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo juga menceritakan 3 jalan panjang pengalamannya saat melenggang di DPR. Dia mengatakan saat ini masih terdapat sejumlah diskriminasi yang dialami oleh perempuan yang ingin maju jadi anggota legislatif.
Pertama ialah budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat Indonesia. Kedua adalah tingkat ekonomi yang harus mendukung karier dari perempuan. Terkahir adalah sistem aturan legislatif.
“Saat ini cukuplah dengan mendiskriminasi. Dia (perempuan) dapat (jabatan) karena keponakan si itu, anaknya ini. Percayalah, itu semua tidak akan membantu kita,” kata Saras.
Oleh karena itu, dia terus mendukung upaya keterwakilan perempuan di parlemen. Hal tersebut sebagai upaya nyata mendukung suara perempuan dari ruang parlemen.