Jakarta, FORTUNE – Pemanfaatan Teknologi AI (Artificial Intelligence) yang kian pesat di kalangan masyarakat, bisnis, maupun pemerintahan, mendorong perusahaan teknologi global IBM memantapkan rambu-rambu dalam pengembangan teknologi AI yang bertanggungjawab.
Menurut Vice President, Chief Privacy & Trust Officer, IBM, Christina Montgomery, perangkat regulasi ini sangat penting dimiliki oleh sebuah negara atau perusahaan yang mengimplementasikan teknologi AI untuk menyeimbangkan antara manfaat dan risiko teknologi AI, agar pemanfaatannya bisa lebih maksimal.
“Sekarang saatnya untuk fokus pada keamanan dan tata kelola AI karena AI yang dihasilkan telah menimbulkan risiko baru dan memperkuat risiko yang sudah ada terkait dengan AI. Pada saat yang sama, sangat jelas bahwa AI akan memberikan manfaat yang signifikan,” ujarnya dalam Media Rountable IBM ASEAN, Selasa (19/3).
Menurutnya, pada satu sisi, teknologi AI memberikan banyak sekali manfaat bagi dunia bisnis dan masyarakat, seperti optimalisasi kinerja perusahaan, efisiensi waktu kerja, sampai dengan penghematan biaya.
Namun, risiko yang tak kalah besar juga bisa terjadi, seperti penyebaran disinformasi, pelanggaran hak cipta, kebocoran data pribadi, bahkan sampai eksploitasi manusia, dan dampak pada lingkungan.
Kebijakan teknologi AI di IBM
Untuk itu, IBM meluncurkan sejumlah kebijakan dalam penggunaan teknologi AI di perusahaan, yang berdasar pada prinsip etika AI seperti kejelasan, keadilan, ketangguhan, transparansi, dan privasi. Adapun kebijakan teknologi AI di IBM, adalah:
- Mengatur risiko AI, bukan algoritma AI
Montgomery mengatakan bahwa setiap penerapan AI bersifat unik. “Kami sangat yakin bahwa peraturan harus mempertimbangkan konteks penerapan AI dan harus memastikan bahwa penggunaan AI yang berisiko tinggi diatur dengan lebih ketat,” katanya. - Menjadikan pembuat dan penerapan AI bertanggung jawab, dan tidak kebal terhadap tanggung jawab
Menurutnya, perundang-undangan harus mempertimbangkan perbedaan peran pencipta dan pemnggunanya. “Serta meminta pertanggungjawaban mereka dalam konteks di mana mereka mengembangkan atau menerapkan AI,” kata Montgomery. - Mendukung inovasi AI yang terbuka, bukan rezim lisensi AI
Montgomery menyebutkan bahwa rezim lisensi AI akan menjadi pukulan serius terhadap inovasi terbuka dan berisiko menciptakan bentuk peraturan.
Situasi di Indonesia
Sementara itu, berdasarkan riset IBM, sebanyak 23 persen perusahaan di Indonesia, khususnya pada sektor keuangan dan manufaktur, berusaha menggunakan AI di seluruh perusahaan untuk berinteroperasi dengan sistem data antar departemen dan unit bisnis strategis. .
Digital Policy Advisor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dedy Permadi, mengatakan industri keuangan dan perbankan diharapkan menjadi yang paling awal mengadopsi pedoman AI ASEAN mengingat model bisnis mereka mendapat manfaat dari pemrosesan data pribadi yang mungkin dikatalisis oleh AI.
“Industri-industri ini akan mendapatkan manfaat dari adanya aturan dan perlindungan yang lebih jelas dalam memberikan perlindungan yang kuat dan tepercaya. sistem untuk penggunanya sebagai bagian dari tata kelola AI,” katanya.
Data Oxford Insights juga menunjukkan, enam negara ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina) berada di atas rata-rata global dalam hal skor kesiapan pemerintah terhadap AI.
Pasar AI generatif di ASEAN diperkirakan akan tumbuh signifikan dengan CAGR (Compounded annual growth rate) lebih dari 24,4 persen dari tahun 2023-2030.