Jakarta, FORTUNE – Perusahaan teknologi global, Microsoft, mengungkapkan potensi pengembangan teknologi Artificial Intelligence (AI). Perusahaan menyebut, pengembangan teknologi ini perlu diimbangi dengan dukungan regulasi yang mumpuni, menyesuaikan situasi dan latar belakang di tiap negara.
National Technology Officer Microsoft Indonesia, Panji Wasmana, mencontohkan sebuah studi kasus yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS), di mana Presiden Joe Biden mengajak sejumlah perusahaan pengembang teknologi AI–termasuk Microsoft–untuk berkomitmen dalam White House Voluntary AI Commitments. “Untuk setiap teknologi AI, harus bersifat safe, secure, dan trustworthy,” katanya kepada awak media di Kantor Microsoft, Rabu (18/10).
Regulasi menjadi penting, untuk memastikan teknologi AI berjalan di koridor yang tepat dan menghindari penyalahgunaannya bak pisau bermata dua. “Kalau kita tak meregulasinya, dan tidak ada kerangka kerja untuk memastikan bahwa sistem AI yang dikembangkan aman, maka akan jadi bencana,” ujar Panji.
Baik atau jahat
Panji menegaskan bahwa keberadaan regulasi perlu dikaukan karena teknologi bisa digunakan untuk berbagai kepentingan kebaikan hingga tak menutup kemungkinan munculnya celah kejahatan. Apalagi, berdasarkan Microsoft Digital Defense Report 2023, serangan siber kini semakin canggih dengan teknologi AI yang membuatnya sulit untuk terdeteksi.
“Kita dengan mudah bisa melakukan disinformasi (di dalam LLM (large language models) atau search engine). Itu kemungkinan yang bisa terjadi dengan memanfaatkan teknologi AI. Kita bisa menggunakan teknologi AI untuk melakukan targeted campaign, bahkan,” ujar Panji.
Kondisi ini, menurutnya, jadi alasan bagi setiap sektor untuk lebih siap melengkapi diri dengan pertahanan yang harus didukung dengan kemampuan teknologi AI juga. “Penggunaan AI untuk memberantas hoaks, itu yang sudah banyak dilakukan. Dilihat tahun-tahun sebelumnya, AI itu sudah dipersiapkan untuk mengklasterkan gerakan dari sosial media, melihat tren dan ‘temperatur’ di sosial media terkait politik, dan itu sudah terjadi,” kata Panji.
Pada akhirnya, Panji menyebutkan bahwa peran manusia sebagai pengguna tetap jadi yang utama. “Bagaimana mereka bisa memilah dan menjadi bijak dalam melihat informasi. Kalau di Bing Search, itu ada reference. Bijak tidak hanya melihat satu paragraf, tapi juga melihat sumbernya dari mana, bagaimana ini (informasi) dibaca, dan sebagainya,” ujarnya.
Tantangan
Panji mengatakan bahwa salah satu tantangan terbesar yang dihadapi saat menggunakan teknologi AI untuk mendukung keamanan siber adalah adu cepat antara pihak yang menggunakan teknologi AI untuk menyerang, dengan mereka yang menggunakannya untuk bertahan.
“AI bisa membantu kita untuk lebih konsisten dan makin memahami pola serangan sampai bagaimana meresponi serangan (keamanan siber) yang datang,” katanya.
Oleh sebab itu, setiap pengguna teknologi AI bisa memastikan proses pembelajaran dari data-data yang masuk bisa berjalan secepat mungkin. “Sehingga nanti, sisi baik menjadi lebih daripada sisi yang gelap,” ujarnya.
Seiring dengan perkembangan ini, literasi digital di tengah masyarakat juga harus terus ditingkatkan. Dalam konteks negara seperti Indonesia, hal ini akan lebih menantang, karena jumlah penduduk yang sangat besar ditambah wilayah yang sangat luas, dengan daerah pelosok yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.