Jakarta, FORTUNE – Pengusaha di bidang teknologi, Toto Sugiri, mengungkapkan komitmen pasokan energi dan perpajakan jadi kunci daya saing keandalan Data Center Indonesia dibandingkan pemain global, seperti Malaysia. Terlebih saat ini, bisnis data center dianggap menarik di kalangan investor dunia.
Toto mengungkapkan persoalan kelistrikan, bukan hal utama seperti yang diperkirakan banyak orang. “Kalau listrik, Indonesia lebih unggul, harga Indonesia juga sama kompetitifnya. Rumusnya bukan disana, memang mereka (Malaysia) pemerintahnya menunjukkan clear commitment untuk bisa memasok kapasitas listrik yang cukup dan juga commit untuk punya roadmap untuk supply green energy-nya,” ujarnya dalam wawancara eksklusif pada Fortune Indonesia, Selasa (15/10).
Tak hanya itu, komponen pendukung data center ketika masuk Johor Bahru tidak dikenakan pajak impor, sementara Indonesia masih mengenakan pajak. Belum lagi masalah perizinan mendirikan data center, yang cenderung berbelit dan belum terintegrasi.
“Di sana (Malaysia) itu ibaratnya KEK (Kawasan Ekonomi Khusus). Investasi digital sudah diurus badan digital. Masuk ke situ, perizinan dan perpajakannya, termasuk custom clearance dan segala macam lainnya, langsung beres. Itu bedanya,” kata Toto.
Pemerintah sudah menyadari
Namun, Toto menilai belakangan pemerintah sudah cukup menyadari peluang besar dari bisnis data center.
PT DCI Indonesia sudah berkoordinasi dengan sejumlah Kementerian, seperti Kemenkeu, ESDM, sampai Kementerian Kominfo, soal pengembangan data center di Indonesia.
“Tanpa teknologi AI (Artificial Intelligence), hanya dengan cloud, konten media sosial, dan lain-lain, termasuk transformasi digital negara kita, minimalnya Indonesia butuh 2.700 megawatt (MW) size data center. Kalau dengan AI, kita double up deh minimalnya. Nah, saat ini Indonesia baru punya 300-an MW ya. Jadi, ga heran bahwa orang berlomba-lomba mau investasi di data center,” kata Toto.
Ia berharap, PLN bisa menyediakan energi hijau untuk data center. “Singapura nggak punya energi hijau, Malaysia nggak akan punya sebanyak Indonesia. Nah Indonesia punya, tapi kendala kita adalah PLN. Komitmen PLN untuk suplai energi hijau ke industri, data center dulu aja deh,” ujar Toto.
Target besar Malaysia
Mengutip TheDiplomat, pemerintah Malaysia menargetkan pendapatan pusat data sebesar 3,6 miliar ringgit Malaysia (sekitar US$838 juta) pada 2025, hampir dua kali lipat dari angka tahun 2022. Sedangkan untuk menarik investasi, Otoritas Pengembangan Investasi Malaysia (MIDA) menawarkan insentif pajak, termasuk pembebasan pajak penghasilan dan pengurangan bea masuk bagi operator yang memenuhi syarat.
Johor kini menjadi tuan rumah operasi pusat data dari perusahaan AS Nvidia, AirTrunk Australia, GDS International Tiongkok, Princeton Digital Group Singapura, dan YTL Power International Bhd Malaysia.
Menurut The Diplomat, masih banyak lagi yang akan datang, seperti Microsoft yang telah membeli tanah di Johor untuk pusat data baru, dan ByteDance Tiongkok yang berencana investasi sekitar US$2,13 miliar untuk membangun hub AI di Malaysia, termasuk US$320 juta untuk memperluas fasilitas pusat data di Johor.
Keterbatasan
Johor Bahru disebut memiliki kekurangan energi dan air yang stabil untuk mendukung lonjakan pusat data yang tiba-tiba, yang membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar.
“Kenanga Investment Bank Research memperkirakan bahwa permintaan listrik dari pusat data di Malaysia akan mencapai 5 GW pada tahun 2035. Kapasitas terpasang saat ini untuk seluruh negara hanya sekitar 27 GW, menurut Tenaga Nasional Berhad,” tulis The Diplomat.
Karena investasi saat ini sebagian besar difokuskan pada pembangunan pusat data, investor mungkin ingin memperluas mandat mereka dan membantu meningkatkan infrastruktur dasar di tingkat regional dan lokal. Peningkatan keamanan air dan energi diperlukan untuk memastikan pusat data di Johor berjalan efektif dan kualitas hidup penduduk setempat meningkat.