Starlink Masuk RI, ASSI: Pemain VSAT Lokal Tidak Akan Bertahan

Ada perbedaan harga antara Starlink dan pemain lokal.

Starlink Masuk RI, ASSI: Pemain VSAT Lokal Tidak Akan Bertahan
Sekjen Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Sigit Jatiputro saat ditemui di Gedung KPPU Jakarta, Rabu (29/5). EKO WAHYUDI/Fortune Indonnesia
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Fortune Recap

  • ASSI khawatir bisnis internet satelit lokal akan terancam oleh Starlink.
  • Pelanggan VSAT lokal beralih ke Starlink karena harga berlangganan dan perangkatnya lebih murah.

Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) mengkhawatirkan keberlangsungan bisnis internet berbasis satelit pemain lokal menyusul kehadiran layanan serupa yang ditawarkan oleh Starlink di Indonesia.

Sekjen ASSI, Sigit Jatiputro, mengatakan kekhawatiran itu mengemuka seiring dengan adanya pelanggan Very Small Aperture Terminal (VSAT) atau layanan internet berbasis satelit yang mulai beralih menggunakan Starlink.

Perpindahan pelanggan tersebut merupakan imbas dari harga berlangganan dan harga perangkat keras Starlink yang lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan pemain VSAT lokal.

“Kalau diambil ekstremnya, mungkin pemain VSAT dalam negeri tidak akan bertahan dalam setahun,” kata Sigit saat ditemui di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta, Rabu (29/5).

Sigit mencontohkan bahwa harga berlangganan internet VSAT lokal dengan skema kuota unlimited termurah mencapai Rp3,5 juta per bulan, sedangkan harga Starlink dengan layanan serupa hanya Rp750.000 per bulan.

Kemudian untuk harga perangkat, pemain lokal menawarkan harga termurah Rp9,1 juta, sedangkan harga promosi yang ditawarkan Starlink mencapai Rp4,6 juta.

Pemain lokal sulit tumbuh dengan kehadiran Starlink

Dengan persaingan harga tersebut, Sigit mengatakan pemain lokal akan sulit bertumbuh. Menurutnya, pada dua pekan awal Starlink beroperasi di dalam negeri, terjadi penurunan penjualan layanan VSAT pada segmen ritel dan bisnis.

“VSAT itu jarang dipakai di ritel, kebanyakan di bisnis. Starlink yang residensial bisa dipakai di bisnis. Jadi, sebenarnya harga di bisnis lebih murah dan di ritel, tetapi masalahnya kami terimbas baik di korporasi dan ritel,” ujarnya.

Dengan kondisi demikian, Sigit mengatakan yang dapat mereka lakukan adalah mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah.

“Kami nurut aja. Kalau suatu perusahaan diizinkan [berusaha] di sini, artinya pemerintah sudah memikirkan baik-buruknya,” katanya.

Di sisi lain, Sigit memandang bahwa bisnis layanan internet berbasis fiber optik seperti IndiHome dan lainnya masih tetap kuat walau ada Starlink. Namun, ceritanya akan berbeda jika Starlink melakukan ekspansi kapasitas bisnis.

“Kami enggak ada yang tahu pasti. Tetapi, menurut saya, semua (pemain lokal) akan terimbas dalam lima tahun mendatang,” ujarnya.



 

Magazine

SEE MORE>
Investor's Guide 2025
Edisi Januari 2025
Change the World 2024
Edisi Desember 2024
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024

Most Popular

WTO Buktikan Uni Eropa Diskriminasi Minyak Sawit Indonesia
Daftar 10 Saham Blue Chip 2025 Terbaru
Selain Bukalapak, Ini 7 e-Commerce yang Tutup di Indonesia
Israel Serang Gaza Usai Sepakat Gencatan Senjata, 101 Warga Tewas
Suspensi Saham RATU Resmi Dicabut, Jadi Top Gainers
Mengapa Nilai Tukar Rupiah Bisa Naik dan Turun? Ini Penyebabnya