Jakarta, FORTUNE - Pemerintah akan menata perdagangan di media sosial atau biasa disebut social commerce. Hal ini dilakukan seiring dengan rencana TikTok untuk melakukan investasi jumbo di Indonesia senilai US$12,2 juta.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, bila social commerce tak diatur dengan jelas, maka akan berdampak negatif pada usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Tanah Air.
"Itu kalau enggak diatur, kolaps (industri lain seperti UMKM) 3 bulan nanti, industri kecantikan kita bisa collapse," ujarnya saat rapat kerja bersama dengan Komisi VI DPR RI, Senin (4/9).
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mendorong agar pemerintah Indonesia mengambil langkah kongkret dalam membatasi produk impor di toko online, termasuk TikTok Shop. Dalam hal ini, Ia mencontohkan bahwa India dan Amerika Serikat (AS) berani melarang operasional perdagangan dari TikTok.
"India pun berani menolak TikTok, kenapa kita enggak? Amerika juga melarang TikTok. Jualannya boleh, tapi enggak boleh disatukan dengan media sosial. Di kita, media sosial, dia juga jualan," kata Teten.
Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang turut hadir di DPR mengklaim, dirinya telah menutup izin impor barang secara langsung e-commerce alias perdagangan cross border. Hal ini dilakukannya sebagai respons atas banjir produk impor di e-commerce maupun social commerce. Menurutnya, operasional social commerce perlu ditata untuk memastikan level of playing field bagi para pelaku perdagangan elektronik.
“Kondisi banjir impor di e-commerce harus segera ditangani daripada semakin merugikan UMKM,” kata Bahlil.
Ini poin aturan dalam revisi Permendag terkait perdagangan elektronik
Untuk itu, Pemerintah telah merancang aturan social commerce tersebut melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Dalam baleid PPMSE itu, ada empat usulan yang diatur oleh pemerintah.
Pertama adalah memberlakukan aturan yang sama untuk penjualan e-commerce (daring) dan penjualan offline khususnya pengenaan pajak. Kemudian poin yang kedua adalah pemerintah akan melarang penjualan barang impor sebesar di bawah US$100 dollar AS atau di bawah Rp 1,5 juta hanya untuk produk yang dikirim secara cross border atau melalui perdagangan lintas batas.
Selanjutnya poin ketiga adalah platform digital dilarang menjadi produsen. Sementara point yang terakhir adalah pemerintah akan membedakan aturan main untuk penjualan di e-commerce dengan penjualan social commerce.
Jaga keamanan data pembayaran masyarakat, Tiktok harus miliki izin e-commerce
Menanggapi rencana revisi permendag tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengatakan, menjamurnya barang-barang impor yang masuk ke pasar dalam negeri memang menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.
Menurutnya, barang-barang buatan lokal harus bisa bersaing di tengah gempuran barang-barang impor. Namun, ia berharap adanya keberpihakan pemerintah dan masyarakat untuk mengutamakan membeli produk lokal.
"Bahwa rencana revisi Permendag 50/2020 itu saya kira itu bentuk keberpihakan pemerintah kepada pelaku UMKM, di mana direncanakan yang US$100 ke bawah tidak diperkenankan lagi masuk di dalam perdagangan Indonesia melalui e-commerce," kata Edy.
Terkait dengan TikTok Shop, Edy khawatir tren ini akan membuat kolaps UMKM lokal. Karena itu, kata Edy, perlu tiga pilar untuk menopang pertumbuhan produk UMKM lokal, antara lain, regulator harus berpihak pada pelaku UMKM, kesadar diri UMKM untuk meningkatkan kualitas produknya. "Dan yang ketiga sebisa-bisanya bersaing yang kompetitif dalam soal harga," kata dia.
Sementara itu, Pakar Keamanan Siber dan Forensik Digital, Alfons Tanuwijaya mengatakan, perlunya izin tambahan untuk social commerce dalam melakukan aktivitas perdagangan. Selain dinilai akan membawa dampak positif untuk persaingan e-commerce tanah air, hal tersebut juga akan memperkuat perlindungan data keuangan atau pembayaran pribadi pengguna.
"Ya kalau memang membuat TikTok Shop, seharusnya pemerintah memperlakukan izin itu sebagai e-commerce juga. Itu perlu dipertimbangkan, karena masalah pajak dan data keuangannya," kata Alfons.
Alfons menambahkan, social commerce seperti TikTok dan SnackVideo menggunakan metode layaknya orang menjual narkoba. Karena itu, masyarakat diimbau tidak terjebak pada hype atau promosi sensasional yang sifatnya jangka pendek.