Return Sinarmas Asset Management Tumbuh 20,40% YoY dengan Teknologi AI
Sinarmas padukan teknik berinvestasi dan teknologi AI.
Jakarta, FORTUNE – PT Sinarmas Asset Management mendapatkan pertumbuhan return 20,40 persen per Mei 2024 secara tahunan (YoY) pada reksa dana Danamas Saham–salah satu reksa dana kelolaannya–dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Chief Investment Officer (CIO) Sinarmas Asset Management, Genta Wira Anjalu, mengatakan perusahaannya merupakan pelopor penggunaan AI untuk pengelolaan dana di Indonesia, dan menyebut kolaborasi tersebut sebagai Simas Quantamental.
“Kami sedang dalam proses pendaftaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk teknik-teknik atau formula-formula investasi yang ketika diproses oleh Teknologi AI, telah terbukti menghasilkan return yang baik dengan tingkat resiko yang terukur,” ujarnya dalam siaran pers yang dikutip Senin (8/7).
Jika dilakukan backtesting lebih panjang, Genta mengatakan performa return yang dihasilkan dari 31 Desember 2012-21 Juni 2024 mencapai 997,6 persen, jauh mengalahkan Indeks LQ45 yang hanya 17,9 persen.
Sementara itu, bila dilihat secara tahunan, return dari model AI ini mencapai 23 persen, sedangkan return LQ45 yang disetahunkan hanya 1,4 persen.
Menurut Genta, dari 1.335 prediksi yang dilakukan oleh teknologi AI dalam model ini, sebanyak 687 prediksi terbukti akurat, dengan rasio akurasi 51,4 persen.
“Saya juga melihat potensi penggunaan AI dalam pengelolaan reksa dana lainnya seperti reksa dana pendapatan tetap untuk mencetak return maksimal,” katanya.
Terobosan menarik
Genta menyatakan langkah investasi dengan perusahaan AI asal Kanada ini adalah sebuah terobosan yang menarik bagi industri ini di Indonesia, terutama setelah menghasilkan kinerja yang terbukti baik. Ia yakin bahwa Quantamental Fund Manager akan menjadi era baru dan masa depan investasi di Indonesia.
Kolaborasi serupa, menurutnya, telah banyak dilakukan oleh banyak manajer investasi di negara-negara maju. Hal ini belum populer untuk negara seperti Indonesia, karena nilai investasi yang masih dinilai cukup mahal.
“Meskipun biaya investasi teknologi AI cukup tinggi, kami meyakini hasilnya sangat sebanding,” ujar Genta.