Jakarta, FORTUNE – Deflasi di Indonesia yang terjadi pada Mei-Juli 2024 mengisyaratkan adanya penurunan Daya Beli di tengah masyarakat.
Bisnis Hotel mulai mewaspadai perkembangan tersebut, tapi tidak ingin terjebak dalam kekhawatiran karena dalam kalkulasinya bisnis ini masih relatif aman. Fleksibilitas dalam mengakomodir pengalaman Konsumen pun dijadikan strategi, paling tidak bagi dua jaringan hotel besar di Indonesia, Ascott dan Archipelago.
Director of Operations, Regional Safety and Security Leader South East Asia, The Ascott Limited, Patrick Legrand, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat senang merasakan pengalaman baru yang positif, unik, dan menarik.
“Ascott pun berupaya untuk melebarkan bisnis ke segala segmen, agar kami juga bisa menerima berbagai segmen tamu di berbagai kelas ekonomi,” katanya kepada Fortune Indonesia, pada Agustus lalu.
Menurutnya, banyaknya pilihan jenama yang didasarkan pada daya beli konsumen pada berbagai segmen ini, Ascott justru berharap semua kelas ekonomi bisa merasakan standar layanan yang sama optimalnya, meski fasilitas yang diterima mungkin berbeda bergantung pada anggaran tersedia.
Legrand berpendapat bahwa mungkin saja penurunan daya beli terjadi dan berpotensi menurunkan kelas ekonomi menengah ke tingkatan yang lebih rendah, namun Ascott tidak khawatir kehilangan pasar karena jaringan hotelnya bisa mengakomodasi kebutuhan menginap sesuai dengan daya beli konsumennya.
Sementara, untuk ‘mengikat’ para konsumen agar tidak mudah beralih ke grup hotel lainnya, Ascott juga yakin dengan program loyalitas globalnya, yang disebut Ascott Star Rewards (ASR).
“ASR kami luncurkan tiga tahun lalu dan menjadi kunci bagi kami untuk bisa terus terkoneksi dengan para pelanggan,” ujar Legrand sambil mengungkapkan strategi fleksibel lainnya adalah mengembangkan produk hibrida antara hotel dan apartemen.
Faktor hasrat bepergian
Sementara itu, CEO Archipelago International, John Flood, menyatakan tren umum bisnis pada sektor pariwisata mengalami peningkatan, seperti jumlah wisatawan maupun TPK hotel.
“Meskipun masyarakat memiliki lebih sedikit uang, mereka tampaknya masih membelanjakannya untuk perjalanan pariwisata, hotel, dan pengalaman di dalamnya. Menurut saya, ini mengarah pada poin tentang apa yang orang ingin lakukan,” ujarnya.
Kendati bisnis perhotelan sebelumnya diproyeksikan akan melambat akibat daya beli masyarakat yang belum pulih akibat COVID-19, John justru melihat ini sebagai sebuah peluang, karena banyak orang masih menyimpan hasrat terpendam untuk melakukan satu hal penting yang tidak bisa dilakukan selama pandemi, yakni bepergian.
Praktis, hasrat bepergian ini menjadi sebuah peluang besar yang datang dari generasi baru penguasa pasar di Indonesia, yakni Gen Z.
“Mereka tidak terlalu tertarik untuk membeli rumah atau menetap di satu tempat. Mereka lebih ingin bepergian,” ujarnya.
John tidak menutup mata bila penurunan daya beli terjadi dan berdampak pada penjualan kamar hotel, sehingga ia pun bersiap dengan strategi tertentu, seperti menurunkan harga kamar atau menambah fasilitas tambahan, seperti makan siang atau malam, hingga transportasi untuk penjemputan.
Selain itu, perusahaan tersebut juga tetap mengoptimalkan penjualan pada segmen venue untuk acara MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition).
“Orang-orang kini menyadari bahwa hotel bisa digunakan lebih, yakni sebagai pusat budaya atau pusat hiburan, dan bukan hanya sebagai tempat untuk menginap,” ujar John. “Intinya, banyak hal lain yang bisa kami lakukan untuk meningkatkan pengalaman bagi konsumen.”
Secara kinerja, John pun membuka data bahwa rata-rata okupansi sudah melampaui rata-rata sebelum pandemi, yakni 73 persen pada 2023.
Sementara, dari sisi penjualan kamar, Archipelago juga terus bertumbuh positif sejak merugi hingga 47,67 persen pada 2020. Meski begitu, pada 2023 pertumbuhan penjualannya sedikit melambat pada 23,70 persen, turun secara tahunan dari 48,82 persen pada 2022.