Jakarta, FORTUNE - Selama bertahun-tahun, industri ayam goreng cepat saji di Indonesia didominasi oleh merek-merek global seperti KFC dan McDonald's. Namun, peta persaingan kini mulai berubah. Di tengah gelombang boikot terhadap merek-merek yang diduga mendukung Israel, beberapa gerai ayam goreng ala Timur Tengah mulai bermunculan dan mengalami pertumbuhan pesat.
Sejumlah brand lokal seperti Almaz Fried Chicken dan Emado's Shawarma berhasil menarik perhatian masyarakat. Almaz Fried Chicken, yang baru hadir pada tahun 2024, telah membuka 45 cabang hanya dalam kurun waktu lima bulan. Sementara itu, Emado's Shawarma kini memiliki sekitar 70 cabang di berbagai kota di Indonesia. Tren ini terus berkembang dengan kehadiran merek-merek baru seperti Ayam Kordoba dan Mecca Fried Chicken.
Mecca Fried Chicken secara resmi membuka cabang pertamanya di Jakarta Barat pada Rabu (5/2). Restoran ini menawarkan menu utama berupa makanan cepat saji halal, dengan ayam goreng tepung sebagai andalannya. CEO PT Inspirasi Bisnis Nusantara, Gufron Syarif, menegaskan bahwa Mecca Fried Chicken bukan sekadar restoran keluarga, tetapi juga membawa misi kemanusiaan.
"Dari setiap potong ayam goreng yang disantap, kami mendonasikan Rp 1.000 untuk Palestina. Progres dari donasi ini bisa dilihat langsung di situs web resmi kami," ujar Gufron saat grand opening Mecca Fried Chicken. Selain ayam goreng, Mecca Fried Chicken juga menyajikan nasi mandhi sebagai menu pembeda, menghadirkan nuansa perpaduan antara kuliner Barat, Timur Tengah, dan Indonesia.
Dampak boikot dan momentum jenama lokal
Dari berbagai brand ayam goreng ala timur tengah tersebut, sejumlah kesamaan melatari eksplorasi peluang bisnisnya. Menurut laporan Consumeri, ada tiga faktor utama yang menyebabkan pergeseran minat konsumen ke brand lokal dan membuat produk jadi laris.
-
Konsumen Muslim sebagai kekuatan pasar. Dengan hampir 90 persen populasi Indonesia beragama Islam, aspirasi nilai-nilai keislaman semakin kuat, termasuk dalam pemilihan produk yang halal dan memiliki keberpihakan ekonomi.
-
Spiritual value dalam keputusan konsumen. Konsumen kini tidak hanya mempertimbangkan harga dan kualitas, tetapi juga nilai spiritual dalam keputusan berbelanja. Produk yang sejalan dengan prinsip Islam cenderung lebih mudah mendapat loyalitas pelanggan.
-
Momentum boikot sebagai peluang. Pergeseran ini bukan sekadar tren sementara, tetapi bisa menjadi pintu masuk bagi brand lokal untuk mendominasi pasar jangka panjang. Merek-merek yang mampu menjaga kualitas, memperkuat positioning berbasis nilai, serta membangun narasi yang kuat, berpotensi berkembang pesat bahkan setelah isu boikot mereda.
Pengamat marketing dan konsultan bisnis Yuswohady menyoroti dampak serius dari boikot ini terhadap brand global. Ia menggambarkan bahwa brand adalah entitas yang rapuh, layaknya gelas kaca yang bisa pecah berkeping-keping jika terjatuh.
"Brand-brand global yang telah menjadi household brand di Indonesia kini mengalami goncangan akibat aksi boikot. Elemen-elemen brand equity seperti brand association, persepsi kualitas, brand identity, reputasi, hingga loyalitas pelanggan merosot tajam," ungkap Yuswohady.
Ia juga menambahkan bahwa boikot ini diperparah dengan semakin berlarutnya konflik Israel-Palestina. Setiap kali terjadi serangan brutal di Gaza, konsumen seperti "diingatkan" untuk tetap melanjutkan aksi boikot, membuat brand global semakin terpuruk.
"Boikot yang menyebar di media sosial mempercepat perubahan citra brand global. Merek-merek yang sebelumnya diasosiasikan dengan kualitas premium, kini justru dikaitkan dengan citra negatif seperti penindasan dan pelanggaran HAM," jelasnya.
Menurutnya, fenomena ini dikenal sebagai "horizontal de-marketing", di mana konsumen saling memengaruhi melalui media sosial dan komunitas. Efek ini sangat kuat dalam menggerus brand equity. Dengan tren yang terus berlanjut, merek-merek lokal yang mampu memanfaatkan momentum ini diprediksi akan semakin menguat di pasar Indonesia, sementara brand global yang terkena boikot harus berjuang keras untuk mengembalikan kepercayaan konsumen.