Jakarta, FORTUNE - Penerapan kebijakan kembali ke kantor (return-to-office/RTO) secara tak langsung mengembalikan kebiasaan bekerja dari kantor atau Work from Office (WFO). Tak sedikit perusahaan yang semula menerapkan Work from Anywhere (WfA) atau Work from Home (WfA) bahkan hybrid working, kembali ke budaya kerja konvensional yang kaku. Fenomena ini terjadi di berbagai negara, salah satunya Amerika Serikat.
Penelitian terbaru mengungkap bahwa seperempat eksekutif tingkat atas di Amerika Serikat sengaja menerapkan kebijakan kembali ke kantor RTO untuk mendorong pengunduran diri sukarela dari para karyawan. Temuan ini muncul dari survei yang dilakukan oleh BambooHR terhadap lebih dari 1500 manajer di berbagai perusahaan. Demikian dilaporkan Fortune.com.
Selama dua tahun terakhir, para atasan di berbagai sektor telah berupaya memanggil kembali karyawan mereka ke kantor. Upaya ini membuat sebagian pekerja yang lebih menyukai bekerja dari jarak jauh memilih untuk "quiet quitting" sebagai bentuk protes, sementara yang lain secara terang-terangan mengancam untuk mengundurkan diri.
Namun, ternyata sikap pengunduran diri ini sesuai dengan harapan banyak CEO yang ingin mengurangi jumlah karyawan mereka tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara langsung.
Cara halus mengurangi karyawan
Hasil survei menunjukkan bahwa seperempat eksekutif di tingkat C-suite berharap terjadi pengunduran diri secara sukarela dari pekerja setelah kebijakan RTO diberlakukan. Bahkan, satu dari lima profesional HR mengakui bahwa kebijakan kerja di kantor yang mereka terapkan memang ditujukan untuk mendorong staf mengundurkan diri.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa "mandat kembali ke kantor adalah PHK terselubung," sebuah fakta yang telah lama dicurigai oleh banyak pekerja. Namun, meskipun tujuan tersebut cukup jelas, pelaksanaannya tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Kebijakan kerja di kantor yang kaku sering kali tidak diterima dengan baik oleh karyawan. Contoh paling mencolok adalah Amazon, di mana lebih dari 30.000 karyawan menandatangani petisi untuk menolak mandat kerja di kantor, dan lebih dari 1.800 di antaranya berjanji akan mengundurkan diri sebagai bentuk protes.
Setahun setelah pengumuman kebijakan tersebut, Amazon masih menghadapi tantangan dari para pekerjanya yang menghindari mandat tiga hari kerja di kantor. Penelitian menunjukkan bahwa 99 persen perusahaan yang menerapkan mandat kembali ke kantor mengalami penurunan keterlibatan dari karyawan.
Perusahaan sulit merekrut karyawan baru
Data tambahan mengungkapkan bahwa hampir setengah dari perusahaan yang menerapkan kebijakan RTO melihat tingkat pengunduran diri yang lebih tinggi dari yang diantisipasi. Selain itu, 29 persen dari perusahaan yang memaksakan kembali kerja di kantor menghadapi kesulitan dalam merekrut karyawan baru. Bahkan, penelitian dari BambooHR mengindikasikan bahwa hampir sepertiga pekerja akan mempertimbangkan untuk meninggalkan perusahaan mereka jika dipaksa kembali ke kantor.
Meskipun banyak pekerja yang mengancam akan mengundurkan diri, kenyataannya tidak sebanyak yang diharapkan oleh para bos. Hampir 40 persen manajer yang disurvei percaya bahwa perusahaan mereka terpaksa melakukan PHK karena tidak cukup banyak pekerja yang mengundurkan diri sebagai respons terhadap kebijakan RTO.
Dalam beberapa kasus, ultimatum "pergi bekerja atau keluar" semakin menjadi nyata. Misalnya, bulan lalu Patagonia memberi waktu hanya tiga hari kepada sekitar 90 staf untuk memutuskan apakah mereka akan pindah ke dekat kantor atau mengundurkan diri. Demikian pula, perusahaan game Roblox memperingatkan pekerja yang tidak dapat hadir ke kantor fisik mereka di California untuk mencari pekerjaan lain.
Sementara itu, CEO Amazon, Andy Jassy, memperingatkan pekerja bahwa jika mereka tidak dapat mematuhi mandat perusahaan, maka "mungkin ini tidak akan berhasil untuk Anda." Walmart juga meminta ratusan karyawan untuk pindah ke kota baru untuk mematuhi kebijakan kembali ke kantor atau meninggalkan perusahaan.