Tren WfH Meluas di Eropa, Karyawan Bekerja Sambil Berlibur
Model kerja WfO dinilai tradisional dan kuno.
Jakarta, FORTUNE - Budaya kerja dari rumah atau Work from Home (WfH) kembali tren. Negara-negara di Eropa mulai menerapkannya kembali, Inggris memimpin sebagai negara paling ramah WfH. Kali ini Italia pun mulai meninggalkan budaya kerja 'kuno'.
Melansir Hindustan Times pada Rabu (7/8), seorang karyawan yang sedang bekerja dari rumah di Eropa baru-baru ini menarik perhatian publik setelah menghabiskan sebulan liburan di Italia dengan hanya mengambil tujuh hari cuti.
Dengan memanfaatkan teknologi seperti mouse jiggler, karyawan tersebut tetap terlihat aktif di sistem komunikasi internal perusahaan di tengah liburan.
Model kerja WfH telah mengubah paradigma pekerjaan tradisional cara kerja 9 to 5 menjadi gaya hidup yang lebih fleksibel. Cara kerja ini memungkinkan banyak orang untuk mengintegrasikan kegiatan pribadi dan perawatan diri ke dalam waktu kerja mereka. Namun, karyawan ini mengambil fleksibilitas tersebut ke level yang lebih tinggi.
Dalam wawancara dengan Business Insider, ia mengungkapkan, "Saya menganggap diri saya orang yang termotivasi, tetapi di pekerjaan saya saat ini, saya tidak perlu bekerja keras untuk menyelesaikan tugas.”
Menggali produktivitas dengan flekksibilitas
Karyawan yang bergabung dengan perusahaan teknologi berbasis di San Francisco ini telah bekerja dari rumah selama tiga tahun. Ketika perusahaan mengumumkan kebijakan kembali ke kantor (RTO), ia merasa kecewa dan beralih menjadi "quiet quitter."
Ia hanya bekerja selama tiga jam sehari dan berpura-pura bekerja selama sisa waktu. Karyawan tersebut aktif menghadiri rapat dan menjawab pesan, menciptakan kesan bahwa ia berkomitmen penuh.
Di luar jam kerja, ia melakukan aktivitas sehari-hari seperti berbelanja, bermain video game, dan menghubungi teman serta keluarga. Jika bertemu teman setelah bekerja, ia log off lebih awal, tetapi tetap aktif di platform pesan perusahaan. Meskipun hanya melakukan pekerjaan minimal, ia tetap menerima ulasan positif saat penilaian kinerja.
Ia juga mempraktikkan "berlibur diam-diam," dengan mengambil waktu "cuti: secara rahasia, di saat manajernya percaya bahwa ia sedang bekerja. Dalam dua tahun terakhir, ia telah melakukan perjalanan tanpa mengambil cuti resmi.
Meskipun ada ketakutan tertangkap, karyawan tersebut merasa yakin jika hal itu terjadi, ia dapat mempertahankan argumennya bahwa ia telah memenuhi tugas.
Kesuksesan liburannya di Italia tanpa menimbulkan kecurigaan memberikan kepercayaan diri untuk merencanakan liburan diam-diam lainnya di masa depan.
“Masyarakat harus menyadari bahwa harapan kaku tentang pekerjaan sudah kuno. Saya bisa bekerja 24 jam sehari dari mana saja di dunia. Mengapa kita harus mematuhi regulasi tentang jam berapa saya online atau di mana saya bekerja?” ujarnya.
Mengubah sistem tradisional
Tak dapat dipungkiri, bahwa pernerapan kembali bekerja dari kantor (WfO) justru membuat membuat karyawan sebagai "quiet quitter".
Ada sejumlahfaktor yang melatarinya, mulai dari stres perjalanan hingga rasa kecewa terhadap perusahaan yang menerapkan WfO tanpa membuka ruang diskusi.
Nyatanya WfO sudah tidak populer, bahkan Para CEO perusahaan teknologi juga menyimpulkan mandat untuk WfO tak lagi populer dan membawa dampak jangka panjang yang kurang ideal. Banyak pekerja stres dan risiko kehilangan talenta jangka panjang tentu cepat atau lambat akan dihadapi perusahaan.
Menurut penelitian terbaru Upwork, perusahaan dengan kebijakan kembali ke kantor mengalami penurunan jumlah pekerja perempuan yang signifikan. Pengaturan kerja fleksibel atau Work From Anywhere (WfA), terbukti hampir selalu menjadi rencana terbaik.
Perusahaan yang gagal mempertimbangkan keinginan pekerja untuk fleksibilitas harus membayar mahal. Riset Upwork mengungkap 63 persen pimpinan kehilangan talenta perempuan karena memaksa WfO.
Tak hanya itu, menurut sebuah jajak pendapat yang digelar FlexJobs terhadap lebih dari 8.400 pekerja di Amerika, hampir dua per tiga responden yang disurvei mengaku mereka rela upahnya dipotong demi bisa bekerja dari jarak jauh.
Sedangkan, tujuh belas persen responden berani mengorbankan 20 persen gajinya, dan satu dari 10 responden bahkan bersedia melepas lebih dari 20 persen pendapatan.