Jakarta, FORTUNE - Kondisi sektor manufaktur Indonesia terus menunjukkan tren mengkhawatirkan. Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia, indikator utama aktivitas manufaktur, kembali berada pada zona kontraksi pada Oktober 2024 dengan angka 49,2. Penurunan ini menambah daftar panjang lemahnya kinerja sektor manufaktur dalam empat bulan terakhir.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengingatkan pemerintah agar segera memiliki sense of crisis terhadap situasi ini. Ia menilai perlunya langkah konkret seperti pemberian Insentif agar sektor manufaktur kembali bertumbuh.
"PMI ini gambaran nyata bahwa pesanan makin sedikit, stok di gudang menipis, dan pembeli semakin berkurang. Kondisi ini tidak berubah dalam beberapa bulan terakhir," kata Eko saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/11).
Situasi kontraksi ini juga dibarengi dengan lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, sepanjang Januari hingga Oktober 2024, sekitar 64.000 pekerja yang terkena PHK, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya.
"Kalau situasi ini terus dibiarkan, risiko keruntuhan sektor manufaktur semakin nyata. Pemerintah harus melihat ini sebagai sinyal bahaya," kata Eko.
Selain lemahnya PMI, Eko juga menyoroti penurunan daya beli masyarakat yang memperburuk situasi manufaktur. Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dianggap tidak tepat dalam kondisi ekonomi saat ini.
"Daya beli masyarakat sedang melambat. Kebijakan yang tidak aware terhadap situasi ini justru menebar pesimisme di kalangan dunia usaha," ujarnya.
Insentif fiskal dan non-fiskal diperlukan
Eko menekankan bahwa pemerintah perlu menyusun strategi insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, demi menopang sektor manufaktur.
Jika dirasa berat untuk menggelontorkan insentif fiskal, kata Eko, non-fiskal pun akan memberikan stimulus. Sebagai contoh, pemberantasan pungutan liar, peningkatan indeks logistik, serta penegakan hukum untuk mencegah impor ilegal disebutnya sebagai insentif non-fiskal signifikan.
"Penegakan tata kelola yang baik sudah menjadi bentuk insentif penting. Pemerintah harus berdiri di tengah untuk mendukung semua industri, tidak hanya menyelamatkan satu atau dua perusahaan besar," kata Eko.
Sebagai salah satu sektor utama penopang ekonomi, lemahnya sektor manufaktur dikhawatirkan akan berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Eko menegaskan bahwa langkah-langkah strategis dari pemerintah diperlukan demi menciptakan iklim usaha lebih kondusif.
"Dalam kondisi seperti ini, insentif harus dirumuskan dengan serius. Kalau tidak, industri akan terus tertekan, dan dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga masyarakat luas," katanya.