Jakarta, FORTUNE - Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin), Faisol Riza, menyatakan neraca perdagangan pada sektor Industri Elektronik masih menunjukkan hasil negatif. Nilai impor industri elektronik Indonesia pada 2023 mencapai US$28,38 miliar, sementara ekspornya hanya US$14,2 miliar. Itu artinya Indonesia masih sangat menggantungkan diri pada produk impor demi memenuhi kebutuhan elektronik domestik.
“Proporsi produk komponen memiliki nilai hampir setengah dari total impor, yaitu 48 persen. Produk household berkontribusi sebesar US$1,8 miliar atau sekitar 6 persen dari total impor,” kata Faisol dalam acara peresmian pabrik baru PT Daikin Industries Indonesia (DIID) di Cikarang, Kamis (12/12).
Faisol juga menyebutkan bahwa salah satu produk rumah tangga dengan nilai impor tertinggi adalah air conditioner (AC), yang mencapai US$463 juta.
“Selanjutnya [impor tertinggi] diikuti pompa air, kipas angin, mesin cuci, lampu LED, televisi, kulkas, speaker, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Sebagai langkah strategis, pemerintah telah memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk produk AC, lemari pendingin, dan mesin cuci melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 34 Tahun 2013.
Regulasi ini kemudian direvisi dengan Permenperin Nomor 45 Tahun 2022 demi meningkatkan daya saing industri lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.
Faisol optimistis bahwa ketergantungan terhadap impor produk elektronik, termasuk AC, dapat terus berkurang pada masa mendatang.
“Dengan sinergi ini, kita tidak hanya mengurangi defisit neraca perdagangan, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan,” katanya.
Peluang industri elektronik lokal
Direktur Industri Elektronika dan Telematika (IET) Kementerian Perindustrian, Priyadi Arie Nugroho, mengatakan permintaan produk AC domestik terus meningkat secara signifikan.
“Produksi AC pada tahun 2021 hanya sekitar 1,3 juta unit. Namun, pada tahun 2024, angka tersebut diproyeksikan melonjak hingga 5,3 juta unit. Ini menjadi peluang besar bagi industri dalam negeri untuk memenuhi pasar domestik,” kata Priyadi.
Ia juga menegaskan pentingnya pendalaman struktur industri.
“Kami mendorong agar komponen yang saat ini belum bisa diproduksi di dalam negeri, seperti kompresor, dapat segera diproduksi secara lokal. Ini akan meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk produk AC,” ujarnya.
Komitmen Daikin untuk TKDN
Pada kesempatan yang sama, Direktur PT Daikin Industries Indonesia, Budi Mulia, menyatakan pabrik Daikin telah memenuhi berbagai persyaratan seperti SNI dan Sertifikat Hemat Energi (SHE).
Saat ini, TKDN produk Daikin mencapai level 24 persen dan ditargetkan meningkat menjadi 40 persen pada 2025. Dalam jangka panjang, perusahaan berkomitmen mencapai TKDN hingga 60 persen.
“Hal ini tidak hanya akan memperkuat industri lokal, tetapi juga menggerakkan perekonomian nasional,” ujar Budi.
Meski ekspor menjadi salah satu fokus utama, pasar domestik tetap menjadi prioritas Daikin. Dengan penetrasi AC di Indonesia yang masih rendah—hanya sekitar 10 persen—potensi permintaan AC rumah tangga diperkirakan akan terus meningkat.
Saat ini, Daikin menguasai 35,5 persen pangsa pasar AC di Indonesia dan menargetkan peningkatan hingga 50 persen setelah pabrik beroperasi secara penuh.