Jakarta, FORTUNE - PT Kimia Farma Tbk (KAEF) memutuskan untuk menutup lima pabriknya untuk memperkuat operasional dan meningkatkan profitabilitas.
Rencana yang diungkap dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) perseroan pada 26 Juni lalu itu dilakukan bersama-sama dengan Project Management Office (PMO) Restrukturisasi Keuangan dan Reorientasi Bisnis yang dibentuk Kementerian BUMN (KBUMN).
Penutupan lima pabrik merupakan strategi portofolio bisnis segmen manufaktur yang bertujuan untuk meningkatkan utilitas dan efisiensi fasilitas produksi.
Staf Khusus III Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan langkah penutupan pabrik diambil menyusul kapasitas produksinya yang rendah. Jika pengurangan jumlah fasilitas produksi tidak dilakukan, akan terjadi inefisiensi.
Namun, ia menegaskan bahwa arahan Kementerian BUMN terhadap Kimia Farma sudah jelas, yakni adanya solusi saling menguntungkan antara perusahaan dengan karyawan atas rencana penutupan pabrik tersebut.
"Alasannya yang sangat mendasar memang kapasitasnya: under capacity. Misalnya, kamu punya rentalan mobil ada 10, yang laku cuma lima, dibiarin aja atau dijual? Kalau tetap jalan, operasionalnya juga tetap jalan, padahal enggak disewakan. Sesederhana itu," kata Arya seperti dikutip Antara, Senin (15/7).
Di luar itu, Kementerian BUMN juga membuka opsi untuk menutup pabrik atau menjualnya pada pihak lain. Namun demikian, Arya mengatakan hal tersebut belum diputuskan.
Penutupan dilakukan bertahap
Sebelumnya, Kimia Farma menjelaskan bahwa peningkatan utilitas dalam penutupan lima pabrik tersebut akan dilakukan dengan cara menggabung pabrik dengan utilitas kecil, sehingga pada akhirnya utilitasi akan meningkat.
Rasionalisasi ini, demikian keterangan manajemen dalam laporan public expose, memerlukan waktu sekitar 2-3 tahun dengan memperhatikan keberlanjutan bisnis dan aturan-aturan dari BPOM, Kementerian Kesehatan, serta instansi lainnya.
Pengelolaan pabrik KAEF berada di bawah anak usahanya, yakni PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Perusahan tersebut telah berdiri sejak 5 tahun yang lalu dan saat ini telah memproduksi 17 bahan baku obat (BBO) dan telah mendapatkan sertifikat GMP dari Badan POM.
Lima dari BBO tersebut merupakan 10 BBO priority molecules yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan. Karena itu, untuk menjaga keberlangsungan industri BBO dalam negeri, KAEF memerlukan dukungan dari pemerintah, yaitu pembatasan impor BBO—lantaran saat ini impor dilakukan 90 persen perusahaan dalam negeri—dan penugasan dalam penyerapan BBO dari industri farmasi dalam negeri.