Jakarta, FORTUNE - Pemerintah akan membebaskan Eksportir minyak dan gas (Migas) dari aturan baru yang mengharuskan semua hasil Dolar dari ekspor sumber daya alam (SDA) disimpan di dalam negeri selama satu tahun. Pengecualian ini berlaku setelah banyak perusahaan mendesak penyesuaian aturan tersebut karena khawatir akan dampaknya terhadap arus kas mereka.
Aturan baru tersebut diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Selasa (21/1). Kebijakan tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 Maret 2025. Aturan ini mensyaratkan setiap ekspor dengan nilai dokumen pengiriman minimal sebesar US$250.000 atau sekitar Rp4 miliar untuk menyimpan hasil dolar mereka di Indonesia.
Sebelumnya, eksportir hanya diwajibkan menyimpan 30 persen dari total hasil ekspor mereka dalam bentuk dolar di dalam negeri, dan itu pun hanya untuk durasi minimal tiga bulan.
Kebijakan baru ini, pemerintah menargetkan terjadi peningkatan pasokan dolar AS di dalam negeri guna menstabilkan nilai tukar rupiah yang sempat mengalami pelemahan terburuk dalam enam bulan terakhir pada Januari 2025.
Sebelumnya, eksportir hanya diwajibkan menyimpan 30 persen dari total hasil ekspor mereka dalam bentuk dolar di dalam negeri, dan itu pun hanya untuk durasi minimal tiga bulan. Namun, kebijakan baru ini bertujuan meningkatkan pasokan dolar AS di dalam negeri guna menstabilkan nilai tukar rupiah yang sempat mengalami pelemahan terburuk dalam enam bulan terakhir pada Januari 2025.
Meski demikian, aturan ini tidak akan berlaku bagi eksportir migas. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan, keputusan untuk mengecualikan sektor migas dianggap penting mengingat kekhawatiran besar yang diungkapkan oleh pelaku industri terkait dampaknya pada operasional mereka.
Diterapkan bertahap
Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menyarankan agar aturan baru ini diterapkan secara bertahap. Menurutnya, penerapan mendadak dapat menimbulkan tekanan besar terhadap arus kas perusahaan migas, terutama dalam memenuhi kebutuhan biaya operasional mereka.
Untuk merespons kekhawatiran tersebut, pemerintah berencana mengadakan dialog dengan Aspermigas pada akhir pekan mendatang. Pertemuan ini bertujuan untuk menerima masukan dari pihak industri sekaligus mendiskusikan berbagai bentuk insentif yang mungkin dapat diberikan. Hingga saat ini, belum ada kejelasan apakah eksportir migas masih akan diminta memenuhi aturan retensi 30 persen yang sebelumnya diberlakukan.
Pemerintah sebelumnya telah menyatakan bahwa laba hasil ekspor dapat digunakan sebagai agunan pinjaman untuk membantu perusahaan memenuhi kebutuhan modal kerja mereka. Namun, menurut kelompok industri, langkah ini dinilai kurang menguntungkan. Alasannya, perusahaan tetap harus menanggung bunga pinjaman, yang secara keseluruhan menambah beban pengeluaran mereka.
Dampak aturan retensi 30 persen yang saat ini berlaku telah dirasakan oleh beberapa sektor, termasuk industri kakao lokal. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), industri kakao harus membayar selisih suku bunga hingga 6 persen. Hal ini terjadi karena mereka terpaksa mengambil pinjaman dengan suku bunga pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengembalian dari simpanan mereka di dalam negeri yang relatif rendah.
Selain industri kakao, sektor perikanan juga termasuk yang paling terdampak oleh aturan tersebut. Oleh karena itu, Apindo mendorong pemerintah untuk menerapkan aturan retensi 100 persen secara selektif, bukan secara menyeluruh. Pendekatan yang lebih fleksibel ini dinilai akan lebih efektif dalam meminimalkan dampak negatif terhadap berbagai sektor industri.
Ketua Apindo, Shinta Kamdani, mengungkapkan bahwa pemerintah telah mendengarkan masukan dan kekhawatiran pengusaha. Ia berharap, pemerintah memberikan penjelasan lebih rinci mengenai posisi terkini terkait aturan baru ini.
"Masukan dan kekhawatiran kami telah diterima oleh pemerintah sehingga kami meminta penjelasan lebih rinci tentang posisi pemerintah terkini," kata Shinta Kamdani, dikutip dari Reuters pada Kamis (23/1).
Untuk mendukung pelaksanaan aturan ini, Bank Indonesia menyatakan akan menawarkan instrumen deposito berjangka dengan pengembalian yang kompetitif. Selain itu, bank sentral juga akan menyediakan sekuritas berdenominasi valuta asing sebagai alternatif penempatan hasil ekspor. Langkah ini diharapkan dapat memberikan opsi yang lebih menguntungkan bagi eksportir dalam mengelola hasil ekspor mereka di dalam negeri.