Jakarta, FORTUNE – Indonesia terus mencari peluang untuk mendapatkan pangsa pasar internasional baru bagi komoditas kopi. Salah satu pasar yang potensial untuk ditingkatkan berada di Negeri Beruang Merah, Rusia.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (1/12), nilai ekspor kopi Indonesia ke Rusia pada 2020 mencapai US$31,95 juta atau naik 59,6 persen ketimbang US$20,15 juta pada 2019. Dengan capaian itu, Indonesia tahun lalu berada di peringkat ke-5 pengekspor kopi bagi Rusia, setelah Vietnam, Brasil, Italia, dan Jerman. Jika berdasar volume, Indonesia berada di peringkat ke-3 dengan 18.720 ton, naik dari 10.141 ton pada 2019.
Hingga kuartal ketiga 2021, volume kopi Indonesia ke Rusia turun signifikan, dari 18.720 ton dengan pangsa 8,5 persen impor Rusia pada 2020, menjadi 6.400 ton atau 4 persen dari total impor kopi Rusia. Penurunan ini diperkirakan karena kenaikan harga kopi dan biaya transportasi dari Asia Tenggara yang mencuat karena ketidakpastian pandemi.
Jose Tavares, Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus, mengatakan potensi kopi Indonesia ini menjadi alasan utama KBRI Moskow selalu mengadakan Festival Kopi Indonesia sejak 2019, "karena berdampak langsung bagi peningkatan minat pelaku industri kopi Rusia dalam mengimpor specialty coffee Indonesia".
KBRI Moskow Adakan Festival Kopi Indonesia
Festival Kopi Indonesia kali ini berlangsung di Hotel Baltschug Kempinski, Moskow. Festival dikemas dalam bentuk workshop, coffee cupping, dan pameran produk kopi dan turunannya di hadapan 50 undangan yang terdiri dari para barista, pemilik coffee shop dan importir/distributor kopi Rusia. Selain itu, 43 peserta dari berbagai UMKM eksportir kopi Indonesia—yang mengirimkan sampel—mengikuti kegiatan ini melalui YouTube.
Sebanyak 29 contoh specialty coffee dikirim langsung oleh berbagai pengusaha UMKM kopi Indonesia untuk diperkenalkan kepada para undangan. “Ada kopi Kintamani, Toraja, Sidikalang, Sunda, Banyuwangi, Muntilan, dan sebagainya dengan varian Arabika, Robusta, dan Liberika,” ujar Tavares.
Apresiasi para pelaku industri kopi di Rusia tentang kopi Indonesia
Ramaz Chanturia, Direktur Utama Asosiasi Kopi dan Teh Rusia, mengakui Indonesia adalah salah satu produsen kopi terbesar di dunia dengan hasil kopi berkualitas. Menurutnya, konsumsi kopi di Rusia masih tinggi dan berprospek bagi para eksportir kopi dari Indonesia.
““Pada tahun 2020, konsumsi kopi roasting, bubuk, atau instan di Rusia adalah 178.000 ton, sedangkan tahun 2019 adalah 180.000 ton. Artinya, konsumsi kopi relatif stabil. Karena itu, peluang Indonesia meningkatkan kembali pangsa kopinya tetap terbuka jika kondisi COVID-19 membaik,” katanya.
Beberapa tamu pun mengapresiasi specialty coffee asli Indonesia. Timur Miranov, Chief Barista CHIP Coffee, mengatakan suka akan kopi asal Bali. “Dua tahun terakhir CHIP Coffee telah banyak menjual kopi Bali Karana di Rusia,” ujarnya.
Natalia Goncharova dari perusahaan kopi ‘Vokrug Sveta’ menyatakan ketertarikan dengan cita rasa kopi Indonesia yang diseruputnya pada sesi cupping. “Saya pastikan akan mempelajari lebih lanjut kemungkinan mengimpor kopi dari Indonesia,” ujarnya. Sementara, Varvara Rasskazova dari Nadin Tea and Coffee, Moscow, mengucapkan terima kasih atas fasilitasi KBRI Moskow yang telah menghubungkan ia dengan mitranya di Indonesia, Bencoolen Café.
Harga kopi diperkirakan naik secara signifikan
Fortune.com mewartakan pada (18/11) bahwa Kopi Berjangka—kontrak yang terkait investasi pada biji kopi yang diperdagangkan di Intercontinental Exchange (ICE)—telah mencapai titik tertingginya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Ini berarti, akan ada kenaikan besar harga kopi.
Kopi arabika berjangka di ICE sempat melonjak menjadi US$236,95 pada pertengahan November, harga tertinggi sejak 1 November 2011. Melihat pergerakannya, sejak awal Agustus harga telah melonjak lebih dari 35 persen. Bila mengacu secara year to date, kenaikannya bahkan lebih dari dua kali lipat.
Menjelaskan kenaikan ini, Fortune.com menjelaskan bahwa kekhawatiran pasokan dari produsen utama di Brasil dan Kolombia terus meningkat. Tanaman rusak parah karena kebakaran, kekeringan, dan embun beku. Bahkan, Brasil—produsen 40 persen kopi dunia—tidak memiliki persediaan yang cukup untuk mengisi kesenjangan tersebut.
Belum lagi kendala pengiriman yang kerap terjadi. Selain itu, harga pupuk yang semakin tinggi juga mendorong naiknya harga grosir bagi petani.