Produsen Rayon SPV Berkomitmen Terapkan Prinsip Berkelanjutan
Lenzing telah berinvestasi lebih dari US$100 juta.
Jakarta, FORTUNE – PT South Pacific Viscose (SPV), sebagai salah satu produsen serat fiber Viscose–atau yang disebut juga rayon- berkomitmen terus menerapkan sejumlah prinsip berkelanjutan di industri tekstil.
Site Director SPV, Sri Aditia, mengatakan langkah SPV itu sejalan dengan induk perusahaan Lenzing Group, yang menerapkan prinsip keberlanjutan secara terintegrasi dalam operasionalnya. Lenzing telah berinvestasi lebih dari 200 juta Euro atau sekitar Rp3,29 triliun (kurs Rp16.434 per Euro) untuk wilayah Asia, termasuk Indonesia, untuk inovasi ramah lingkungan.
Sri mencontohkan langkah tersebut dalam pemilihan bahan baku yang digunakan (untuk Rayon) berasal dari sumber pulp terbarukan, biodegradable dan tersertifikasi. Kemudian, wastewater yang kami gunakan akan melalui proses recycling, sehingga memenuhi kaidah circular economy. "Selain itu, dalam pemakaian listrik, kami membeli energi terbaukan dari Kamojang Geothermal, dan ini semua terangkum dalam roadmap yang berujung sepenuhnya carbon neutral pada 2050,” ujar Aditia kepada Fortune Indonesia, Jumat (15/9).
Transformasi ini bukan sekadar mengikuti arahan perusahaan induk atau mengikuti tren, tapi juga upaya perusahaan yang sudah beroperasi di Indonesia selama 40 tahun ini bisa terus berlanjut dengan nilai tambah yang berdampak bagi setiap proses industri rantai pasok. “Jadi produk kami nggak cuma feel so good, tapi juga feel so right,” katanya.
Ecovero
Salah satu jenis serat fiber bahan rayon berkelanjutan yang akan diproduksi sebagai produk ramah lingkungan adalah EcoVero. Produk ini diklaim ramah lingkungan, karena diproduksi dengan air yang terkonservasi hingga 50 persen, memakai bahan baku dari hutan terbarukan, pengelolaan limbah yang bijaksana, dan penggunaan sumber daya energi yang efisien dalam produksinya.
“Menggunakan metode produksi yang bertanggung jawab, Lenzing Ecovero memiliki dampak yang lebih kecil terhadap banyak sumber daya alam,” katanya. "Dulu kami masih impor (untuk EcoVero), tapi sebentar lagi, kami (SPV) bisa memproduksi sendiri."
EcoVero pun dipastikan termasuk dalam prinsip sirkularitas, karena berasal dari sumber terbarukan dan juga biodegradable, dengan penggunaan energi yang efisien dalam pembuatannya dengan skala ekonomi yang dapat ditelusuri secara transparan untuk menjamin keberlanjutannya. “Jadi harus bisa diaudit, untuk setiap tahapan yang dilalui,” katanya.
Ekspor Produk
SPV memroduksi serat fiber dari tanaman yang berkelanjutan untuk ekspor ke berbagai negara. Dari total produksi, ekspor menyumbang 70 persen dan 30 persen sisanya berasal dari paar domestik.
Aditia mengklaim, SPV adalah eksportir terbesar untuk bahan Viscose dari dalam negeri. Bahkan, hingga tahun 2021 mencatatkan sebuah milestone.“Sudah lebih dari 2,5 juta ton fiber yang kita ekspor di tahun 2021,” ujarnya.
SPV adalah satu dari belasan pabrik Lenzing Group di seluruh dunia, yang memiliki kapasitas produksi terbesar di dunia. SPV yang memiliki pusat produksi di Purwakarta, Jawa Barat ini, memproduksi 323.000 ton serat viscose setiap tahunnya untuk industri benang dan nonwoven, yang terbuat dari serat kayu.
Dia pun optimistis bahwa pasar pasar segmen serat selulosa yang dikerjakan oleh SPV akan tetap naik, kendati saat ini penggunaannya baru mencapai 6 persen di seluruh dunia, masih jauh dari fiber sintetis yang mendominasi pasar tekstil dunia. “Sekarang kesadaran orang-orang di dunia ini terhadap lingkungan semakin tinggi,” katanya.
Sejumlah brand sudah menggunakan produk Viscose dari SPV, seperti H&M, Zara, Levis, Adidas, atau produk lokal seperti Eiger.
Kinerja perusahaan
Pada masa pandemi Covid-19, kinerja industri tekstil, temasuk SPV pun cukup turun signifikan. Namun, pada 2022 awal kondisinya membaik, dan pertengahan 2022 hingga akhir menurun cukup tajam.
Memasuki 2023 awal hingga pertengahan kondisi mulai membaik lagi, walau belum pulih seperti masa sebelum pandemi.
“Mudah-mudahan menjadi satu starting point baru lagi, fondasi baru dengan produk ramah lingkungan, karena dengan kalau kita di komoditas memang perang harga terus,” katanya.