Dinilai Bergantung dengan Cina, Indonesia Harus Diversifikasi Mitra
Ada risiko yang mesti ditimbang ke depannya.
Fortune Recap
- Indonesia ketergantungan pada pasar tertentu, seperti nikel, bauksit, tembaga, hingga produk lainnya yang melibatkan Cina.
- Ketergantungan ini memiliki potensi risiko besar terutama jika terjadi dinamika geopolitik yang melibatkan Cina dan negara-negara seperti Amerika Serikat.
Jakarta, FORTUNE - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas, menilai perdagangan internasional Indonesia saat ini terlalu bergantung pada Cina. Meski ada hubungan timbal balik (interdependensi) antara kedua negara, tingkat ketergantungan Indonesia terhadap Cina jauh lebih besar ketimbang sebaliknya.
"Ketergantungan ini nyata. Kita banyak bergantung pada pasar tertentu, terutama Cina. Mulai dari nikel, bauksit, tembaga, hingga produk lainnya, hampir semuanya melibatkan Cina," kata Anton diskusi Executive Forum dengan tema Diseminasi Kerja Sama Internasional di Bidang Investasi di Jakarta, Jumat (13/12).
Menurutnya, ketergantungan yang terlalu besar ini memiliki potensi risiko besar, terutama jika terjadi dinamika geopolitik yang melibatkan Cina dan negara-negara seperti Amerika Serikat.
"Kalau ada kebijakan tertentu dari salah satu pihak, dampaknya bisa signifikan bagi kita," ujarnya.
Anton juga menyoroti pelajaran yang bisa diambil dari ketergantungan Indonesia pada persenjataan yang banyak disuplai oleh Amerika Serikat. Menurutnya, kondisi serupa dapat terjadi pada sektor perdagangan jika Indonesia tidak segera melakukan diversifikasi mitra dagang.
Pentingnya diversifikasi mitra dagang
Anton menyatakan diversifikasi mitra dagang harus menjadi prioritas bagi Indonesia.
"Dengan ketergantungan yang tinggi terhadap Cina, potensi guncangan ekonomi kita tetap besar. Untuk itu, diversifikasi pasar menjadi sangat penting," ujarnya.
Diversifikasi ini tidak hanya berkaitan dengan perdagangan bilateral, tetapi juga dalam membangun kemitraan strategis dengan negara-negara lain. Langkah ini diharapkan mampu menjaga stabilitas pasar sekaligus memanfaatkan potensi besar Indonesia sebagai salah satu pemain utama di sektor Mineral Kritis dan energi.
Anton mengatakan Indonesia memiliki cadangan mineral seperti nikel yang sangat besar, mencapai 40 persen dari total cadangan global. Namun, potensi ini tidak akan optimal jika pasar global tidak stabil atau terlalu didominasi oleh satu negara.
Anton mengajak pemerintah dan pelaku ekonomi Indonesia untuk lebih proaktif dalam mencari mitra dagang baru.
"Kita perlu menjalin kerja sama strategis yang tidak hanya mendukung stabilitas pasar, tetapi juga mendorong kemandirian ekonomi Indonesia. Dengan begitu, kita bisa mengurangi ketergantungan pada satu negara, seperti Cina," katanya.
Langkah ini, menurut Anton, akan membantu Indonesia memproyeksikan peran yang lebih besar pada tingkat global, terutama sebagai pemain utama di sektor energi dan teknologi maju dalam beberapa dekade mendatang.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan hingga Oktober 2024, Cina menjadi penyumbang defisit terbesar dengan total US$765,6 juta pada neraca perdagangan Indonesia.