Rumah Tapak Diprediksi Masih Akan Jadi Favorit pada 2022
Keterjangkauan harga jadi pertimbangan memilih rumah tapak.
Jakarta, FORTUNE - Jones Lang LaSalle (JLL) memproyeksikan sektor properti rumah tapak tetap bertahan dan melanjutkan tren positif pada 2022. Hal itu terlihat dari peningkatan penjulan pada 2021, yakni mencapai 89 persen dari total suplai rumah tapak di Jakarta. Adapun pada tahun sebelumnya mencapai 72 persen.
“Minat pasar terhadap rumah tapak terbukti masih cukup tinggi, terlihat dari respons positif pasar terhadap produk-produk baru yang diluncurkan oleh pengembang,” kata Head of Advisory JLL Indonesia, Vivin Harsanto saat diskusi secara daring, Rabu (26/1).
Vivin menjelaskan ada beberapa faktor peningkatan penjualan rumah tapak. Pertama, insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) dan relaksasi loan to value (LTV). Kemudian, berbagai promosi dan penawaran cara pembayaran yang fleksibel oleh pengembang.
Kelanjutan insentif PPN DTP untuk sektor properti pada 2022, kata Vivin, akan menjadi sentimen positif bagi penjualan rumah tapak. “Beberapa kawasan perumahan yang sebelumnya tidak aktif pun ikut berkontribusi dalam memasarkan produk-produk mereka. Kawasan perumahan dengan fasilitas lengkap dan sudah berkembang menjadi daya tarik pembeli,” ujarnya.
Permintaan rumah tapak didominasi end user
Sementara itu, Head of Research JLL Indonesia Yunus Karim menyebut, hingga 2022 minat pasar terhadap sektor rumah tapak masih terbukti cukup tinggi. Ketika pengembang mengeluarkan produk baru tetap mendapatkan respons positif dari pasar. Hal ini dikarenakan permintaan yang didominasi oleh pengguna akhir.
Kemudian yang jadi pertimbangan utama memilih rumah tapak adalah keterjangkauan harga. Dilihat dari sisi ini, hampir 70 persen produk yang terjual pada semester II-2021 memiliki harga di bawah Rp1,3 miliar.
"Melihat permintaan yang cukup tinggi tersebut maka pengembang akan terus aktif meluncurkan produk baru, dan beberapa kawasan perumahan yang sebelumnya tidak aktif pun ikut berkontribusi dalam memasarkan produk-produk mereka," katanya.
Kondominium masih kurang diminati
Sementara itu JLL juga menilai sektor kondominium masih kurang diminati masyarakat. Sebab, pada kuartal IV tahun lalu masih dalam kondisi stagnan dengan penjualan yang masih relatif lemah. "Hal ini karena pembeli masih sangat berhati-hati dan menunggu situasi yang tepat untuk melakukan pembelian," kata Yunus Karim.
Secara umum, kata dia, jika melihat pada 2014 tingkat penjualan dalam kondisi cukup sehat di angka 75 persen untuk seluruh produk kondominium yang ditawarkan. Namun mulai dari 2015 tingkat penjualan terus tertekan dan berada di angka sekitar 60 persen selama beberapa tahun terakhir.
"Kita melihat kondisi pada 2021 juga masih melanjutkan apa yang terjadi pada 2020 dengan tingkat permintaan yang terbatas, dan didominasi oleh pengguna akhir. Sehingga kalau dibandingkan dengan 2020, tingkat penjualan kondominium tertahan atau stagnan pada angka 62 persen," katanya.
Dari sisi pasokan, peluncuran produk baru secara historis memang semakin berkurang sejak 2015. Hal ini seiring dengan respons pasar yang juga menurun. Ketika pandemi, pasokan mencapai titik terendah dengan sekitar 1.000 unit yang diluncurkan dan hanya mendapatkan tingkat penjualan sebesar 10 persen.
Perkantoran masih belum bergairah
Kemudian untuk sektor perkantoran, kata Yunus, masih belum menunjukan adanya peningkatan hingga awal 2022. Sebab, dampak negatif pandemi terasa di sepanjang 2021 untuk sektor perkantoran.
“Sehingga menyebabkan tingkat hunian tertekan di angka 73 persen untuk kawasan CBD dan 74 persen untuk kawasan Non-CBD,” ucapnya.
Akibat pandemi yang urung usai, Yunus menyebut, beberapa gedung perkantoran yang diperkirakan akan selesai dibangun mengalami penundaan. Dengan keadaan tersebut, sektor perkantoran hanya ada tambahan sebesar 76 ribu meter persegi untuk kawasan CBD dan 38 ribu meter persegi di kawasan Non-CBD.