Sritex Akui PHK Ribuan Karyawan dan Berpotensi Berlanjut
Terimbas kondisi industri tekstil domestik yang terpuruk.
Fortune Recap
- PT Sritex melakukan PHK karyawan karena tekanan kinerja luar biasa.
- Jumlah karyawan berkurang dari 13.000 menjadi sekitar 10.000 pada akhir 2023.
- Direktur Keuangan Sritex mengatakan kebijakan PHK tidak menyenangkan, tapi harus ditempuh mengingat kondisi industri tekstil yang terpuruk.
Jakarta, FORTUNE – Emiten tekstil terintegrasi, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, menyatakan kinerja perseroan tahun ini mengalami tekanan luar biasa. Oleh karena itu, perusahaan tersebut mengambil langkah pemecatan karyawannya demi memangkas ongkos operasional.
Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, mengatakan pada 2022 perusahaannya mempekerjakan total karyawan hingga 13.000 orang, namun pada akhir 2023 tersisa sekitar 10.000.
“Artinya ada sudah ada pengurangan sekitar 3.000 orang atau sekitar 20-25 persen,” kata dia dalam paparan publik secara virtual, Selasa (25/6).
Welly mengatakan PHK Karyawan merupakan kebijakan tidak menyenangkan, apalagi dalam Industri Tekstil. Sebab, industri ini tergolong sebagai sektor yang menyerap banyak tenaga kerja di dalam negeri.
Namun, dia mengatakan perusahaan harus mengambil langkah tersebut karena terdampak kondisi industri tekstil dalam negeri yang juga sedang terpuruk.
“Apakah PHK akan dilanjutkan lagi? Ini tergantung juga kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tentunya saat ini kita juga sedang tunggu. Tidak hanya dari Sritex, tetapi juga dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia,” ujarnya.
Kinerja tertekan dan marak barang impor
Selama 2023, Sritex membukukan penjualan konsolidasi sebesar US$325 juta dan membukukan rugi bersih sebesar US$174,8 juta.
Penjualan mengalami penurunan sebesar 38 persen dibandingkan dengan 2022, sedangkan rugi bersih mengalami perbaikan yang cukup signifikan sebesar 44 persen dibandingkan dengan rugi bersih 2022 yang mencapai US$395,6 juta.
Kinerja SRIL terkena pengaruh penurunan permintaan yang terjadi di tingkat global dan domestik. Secara global, penurunan penjualan berlangsung hampir merata di kawasan Eropa, Asia, Amerika Serikat dan Amerika Latin, Uni Emirat Arab, serta Afrika.
Dampak makroekonomi serta kondisi geopolitik terkait perang Rusia-Ukraina serta perang Israel-Palestina menyebabkan penurunan tingkat permintaan karena masyarakat global lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi.
Selain itu, jalur pengiriman juga mengalami gangguan menyusul terjadinya peningkatan biaya pengiriman akibat jarak tempuh yang lebih jauh dari Terusan Suez.
Menengok berbagai kondisi tersebut, Sritex melakukan perubahan strategi untuk memperbesar porsi penjualan domestik. Masalahnya, strategi itu terbentur dengan maraknya kegiatan impor pakaian illegal yang secara harga lebih murah—karena tidak membayar pajak.
Oleh karena itu, SRIL menunggu langkah nyata pemerintah dalam menyelamatkan industri tekstil dalam negeri.
“Kita harus fokus juga kepada industri, karena kalau kebijakan-kebijakan tidak mendukung ini akan sulit untuk mempertahankan industri,” kata Welly.