Jakarta, FORTUNE - Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) diprediksi bakal mengulang kembali terjadinya Perang Dagang antara AS-Tiongkok jilid kedua usai Trump berencana untuk menerapkan kebijakan tarif impor 60 persen untuk Tiongkok atau ‘American First’.
Meski demikian, Chief Asia Economist HSBC Global Research, Frederic Neumann menilai ada potensi keuntungan yang akan diraih Indonesia bilamana perang dagang ini kembali terjadi. Ia menyebut, perang dagang akan membuat kebijakan negara Tiongkok untuk mendorong permintaan domestik.
“Salah satu contohnya, Indonesia bisa menjual hasil sumber daya alamnya ke Tiongkok dalam menopang penguatan permintaan domestik Tiongkok. Sebenarnya, itu (situasi perang dagang) mungkin tak berdampak buruk bagi Indonesia,” ujar Frederic saat ditemui di Jakarta, Kamis (9/1).
Sementara itu, Chief India and Indonesia Economist HSBC Global Research, Pranjul Bhandari juga beranggapan bahwa Indonesia tak akan berdampak dari perang dagang lantaran rendahnya partisipasi Indonesia rantai pasok perdagangan langsung dengan AS.
Tren suku bunga The Fed masih turun di 2025
Di sisi lain, HSBC juga memperkirakan bank sentral AS, The Fed masih akan terus menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin secara bertahap pada Maret, Juni dan September 2025.
“Hal ini akan membuat suku bunga acuan di Amerika Serikat berada di kisaran 3,50 persen - 3,75 persen pada September 2025,” kata Fan Cheuk Wan, Chief Investment Officer, Asia, Global Private Banking and Wealth HSBC.
Meskipun kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang baru menimbulkan ketidakpastian, namun saham-saham perusahaan global diprediksi masih akan tetap kuat. HSBC juga memperkirakan bahwa risiko geopolitik dan ketidakpastian perdagangan akan meningkatkan permintaan terhadap investasi lindung nilai terhadap risiko ekstrem dan untuk diversifikasi portofolio.
Karena sebagian besar bank sentral utama terus menurunkan suku bunga, lanjut Fan, HSBC GPB berpendapat bahwa menyimpan uang tunai akan kurang menguntungkan dibandingkan dengan investasi pada obligasi, saham, dan aset alternatif.
“Suku bunga yang lebih rendah juga akan membantu meningkatkan valuasi aset-aset berisiko,” katanya.
Dengan demikian, strategi investasi multi aset akan memberikan banyak peluang, mengingat banyaknya faktor pendorong pertumbuhan untuk saham, korelasi yang rendah antara saham dan obligasi, dan perbedaan pengembalian yang besar antar saham.
“Volatilitas suku bunga mungkin akan tetap tinggi untuk beberapa waktu, dan strategi investasi obligasi secara aktif dapat menghasilkan sumber keuntungan dari berbagai pasar dan sektor dengan beradaptasi secara taktis mengikuti perubahan kondisi pasar,” menurut Fan.