Jakarta, FORTUNE - Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) memprediksi Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan Suku Bunga Acuannya di level 6 persen meski nilai tukar rupiah terus merosot ke level Rp16.200/US$.
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, Indonesia berada dalam tekanan nilai tukar yang masif dan mengalami arus modal keluar yang signifikan dalam dua minggu terakhir.
"Walaupun terdapat ruang untuk kenaikan suku bunga acuan, keputusan menaikkan BI Rate nampaknya bukanlah langkah ideal yang perlu diambil saat ini," kata Riefky melalui laporan resmi yang dikutip di Jakarta, Rabu (24/4).
Rupiah masuk level kenormalan di Rp16.200/US$
Ia menjabarkan, pada beberapa hari terakhir, Rupiah mulai stabil di level kenormalan baru yaitu sekitar Rp16.200/US$ seiring dengan sentiment ‘high-for-longer’ yang sudah mulai termaterialisasi dan belum adanya eskalasi lebih lanjut dari konflik di Timur Tengah.
"BI juga memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat dioptimalisasi dengan dukungan cadangan devisa yang memadai," katanya.
Data terakhir cadangan devisa yang tersedia hingga Maret 2024 tidak terlalu menggambarkan dampak dari perkembangan terkini di pasar keuangan global. Terlepas dari itu, cadangan devisa menurun sebesar US$3,6 miliar dari US$114,0 miliar di Februari 2024 ke US$140,4 miliar di Maret 2024. Hal itu didorong oleh pembayaran utang luar negeri Pemerintah, antisipasi kebutuhan likuiditas valuta asing korporasi, dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian kondisi keuangan global.
Di sisi lain, menaikkan suku bunga justru akan meningkatkan biaya pinjaman dan berdampak negatif terhadap sektor riil. Sehingga, menurutnya, peningkatan BI Rate dapat dipertimbangkan sebagai opsi terakhir menimbang potensi risiko domestik yang akan muncul.
"Menimbang berbagai hal tersebut, kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00 persen saat ini," pungkas Riefky.