Bank Indonesia Optimistis Ekonomi RI Bisa Tumbuh 6,1 Persen pada 2028
BI tekankan pentingnya arah bauran kebijakan.
Jakarta, FORTUNE - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,4–6,1 persen dengan inflasi yang terjaga rendah pada kisaran 2,5 ± 1 persen pada 2028.
Menurutnya, posisi tersebut dapat dicapai dengan menetapkan arah bauran kebijakan BI yang meliputi moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, pasar uang dan pasar valas, serta kebijakan ekonomi keuangan inklusif dan hijau.
"Sinergi kelima bauran kebijakan ekonomi nasional tersebut akan memperkuat ketahanan dan kebangkitan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan lebih tinggi dan stabilitas tetap terjaga ke depan. Dalam jangka menengah, pertumbuhan akan mencapai 5,4–6,1 persen pada 2028," ujarnya dalam pembukaan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023, Rabu (30/11).
Perry mengatakan bauran kebijakan tersebut juga diperkuat dengan sinergi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal pemerintah. Di antaranya adalah sinergi kebijakan BI dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID), Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah, serta Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD).
Kemudian, sinergi kebijakan antara BI dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) demi menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha juga akan terus diperkuat.
Ketidakpastian global
Arah bauran kebijakan BI juga diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian global yang masih tinggi, terutama akibat perang Rusia–Ukraina, perang dagang Amerika–Tiongkok, dan kini konflik Israel–Palestina.
"Fragmentasi geopolitik berdampak pada fragmentasi geoekonomi, akibatnya prospek ekonomi global akan meredup 2024 sebelum bersinar kembali pada 2025," kata Perry.
Ketidakpastian global yang masih tinggi tersebut ditandai dengan lima karakteristik.
Pertama, pertumbuhan lebih lambat dan tersebar. Pertumbuhan akan turun ke level 2,8 persen pada 2024 sebelum meningkat ke 3 persen pada 2025.
Kedua, penurunan inflasi yang terjadi secara bertahap. Inflasi melambat meski pengetatan moneter agresif di negara maju baru akan turun pada 2024.
"Itu pun masih di atas target, karena harga energi pangan global dan ketetapan pasar tenaga kerja," ujarnya.
Ketiga, suku bunga tinggi yang berlangsung lebih lama.
"Fed Fund Rate masih akan tinggi pada 2024. Yield US Treasury terus meningkat karena membengkaknya utang Amerika," katanya.
Keempat, penguatan dolar Amerika Serikat yang mengakibatkan tekanan depresiasi nilai tukar seluruh dunia. Fenomena "cash is king" alias uang tunai jauh lebih berharga ketimbang instrumen investasi mana pun mengemuka di tengah pelarian modal dalam jumlah besar dari negara berkembang ke negara maju.
"Sebagian besar [modal] ke Amerika kerena tingginya suku bunga dan kuatnya dolar," ujarnya.
Terakhir, gejolak global tersebut berdampak negatif ke berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia .
"Ini perlu kita waspadai dan antisipasi dengan respons kebijakan yang tepat," katanya.